Mengapa Baku Mutu Emisi PLTU di Indonesia Penting?

Mengapa Baku Mutu Emisi PLTU di Indonesia Penting?

PLTU di Indonesia hingga kini masih mengandalkan batubara sebagai bahan bakar utama. Dua alasan mendasar mengapa batubara begitu dominan adalah: ketersediaannya yang melimpah di Indonesia dan harganya yang jauh lebih terjangkau dibandingkan sumber energi lain.

Sebagai negara kepulauan yang berkembang pesat, Indonesia terus mengalami peningkatan kebutuhan listrik yang signifikan. Dalam konteks ini, batubara memang menawarkan solusi yang praktis dan ekonomis untuk memenuhi permintaan energi yang besar. Namun, PLTU batubara berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca dan polusi udara.

Bagaimana Batubara Menghasillkan Energi Termal untuk PLTU?

Proses operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada prinsipnya memanfaatkan pembakaran batubara sebagai sumber energi utama. Batubara yang dibakar menghasilkan energi termal. Energi ini selanjutnya digunakan untuk memanaskan air dalam suatu sistem tertutup hingga menghasilkan uap bertekanan dan bertemperatur tinggi, atau yang dikenal sebagai uap super panas. Uap super panas ini kemudian dialirkan untuk memutar turbin. Turbin merupakan mesin konversi energi yang mengubah energi termal uap menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran. Turbin ini terhubung secara mekanis dengan generator. Generator, sebagai perangkat elektromekanis, mengubah energi mekanik putaran turbin menjadi energi listrik melalui prinsip induksi elektromagnetik. Uap yang telah melewati turbin dan melepaskan energinya, kemudian dikondensasikan kembali menjadi air. Air kondensat ini selanjutnya dikembalikan ke sistem untuk diproses ulang menjadi uap, sehingga membentuk suatu siklus tertutup yang efisien.

PLTU batubara masih menjadi andalan karena dianggap bisa menghasilkan listrik dalam jumlah besar dan cukup stabil. PLTU batubara berpotensi menghasilkan polusi. Beberapa polutan utama yang dihasilkan adalah debu, gas sulfur dioksida (SO2), gas nitrogen oksida (NOx), gas karbon dioksida (CO2), serta sedikit logam berat dan abu batubara. Polutan ini bisa berdampak ke kualitas udara, lingkungan, dan kesehatan.

Pemerintah Indonesia menyadari hal ini, dan telah membuat peraturan untuk menjaga agar PLTU beroperasi dengan lebih bersih. Salah satu peraturan penting adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 15 Tahun 2019. Peraturan ini menetapkan batasan jelas untuk zat-zat yang boleh dikeluarkan PLTU ke udara, atau yang disebut baku mutu emisi.

Apa Saja yang Diukur dalam Baku Mutu Emisi PLTU?

Permen LHK No. 15 Tahun 2019 mengatur beberapa jenis zat yang umum dihasilkan PLTU dan bisa berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Zat-zat utama tersebut adalah:

  1. Sulfur Dioksida (SO2): Gas ini muncul dari pembakaran bahan bakar seperti batubara dan minyak yang mengandung sulfur. SO2 bisa mengganggu pernapasan dan menyebabkan hujan asam.
  2. Nitrogen Oksida (NOx): Gas ini terbentuk saat pembakaran pada suhu tinggi. NOx juga bisa menyebabkan masalah pernapasan dan kabut asap.
  3. Partikulat (PM): Ini adalah butiran-butiran kecil yang keluar dari proses pembakaran. PM sangat berbahaya karena bisa masuk ke paru-paru dan menyebabkan berbagai penyakit.
  4. Merkuri (Hg): Merkuri adalah logam berat yang sangat beracun. Merkuri bisa mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan jika masuk ke tubuh manusia melalui makanan, terutama ikan.

Standar Baku Mutu Emisi untuk PLTU di Indonesia

Permen LHK No. 15 Tahun 2019 membagi standar baku mutu emisi PLTU berdasarkan kapan PLTU itu dibangun. Ada standar untuk PLTU yang sudah ada sebelum peraturan ini berlaku, dan ada standar yang lebih ketat untuk PLTU yang dibangun setelah peraturan ini berlaku. Perbedaan ini dibuat karena teknologi PLTU terus berkembang dan PLTU baru diharapkan bisa lebih bersih.

A. Standar untuk PLTU Lama (Dibangun Sebelum Permen LHK No. 15 Tahun 2019)

Berikut adalah batasan kadar maksimum emisi untuk PLTU yang sudah beroperasi sebelum Permen LHK No. 15 Tahun 2019 (dalam miligram per meter kubik normal atau mg/Nm³):

No.ParameterBatubara (mg/Nm³)Minyak Solar (mg/Nm³)Gas (mg/Nm³)
1Sulfur Dioksida (SO2)

550

650

50

2Nitrogen Oksida (NOx)

550

450

320

3Partikulat (PM)

100

75

30

4Merkuri (Hg)

0,03

 

B. Standar untuk PLTU Baru (Dibangun Setelah Permen LHK No. 15 Tahun 2019)

Berbeda dari  sebelumnya, untuk PLTU yang dibangun setelah Permen LHK No. 15 Tahun 2019 berlaku, standarnya lebih rendah dan lebih ketat (dalam mg/Nm³):

No.ParameterBatubara (mg/Nm³)Minyak Solar (mg/Nm³)Gas (mg/Nm³)
1Sulfur Dioksida (SO2)20035025
2Nitrogen Oksida (NOx)200250100
3Partikulat (PM)503010
4Merkuri (Hg)0,03

Dari tabel di atas, terlihat bahwa standar untuk PLTU baru jauh lebih rendah, terutama untuk SO2, NOx, dan PM. Ini menunjukkan bahwa peraturan baru ini mendorong PLTU untuk menggunakan teknologi yang lebih bersih dan mengurangi pencemaran udara.

Mengapa Baku Mutu Emisi Itu Penting?

Mengikuti baku mutu emisi PLTU sangat penting karena beberapa alasan mendasar yang saling berkaitan. Ini bukan hanya soal memenuhi aturan di atas kertas, tetapi lebih jauh dari itu, ini menyangkut kualitas hidup kita, kelestarian lingkungan, dan masa depan pembangunan yang berkelanjutan.

Bayangkan jika PLTU dibiarkan mengeluarkan asap dan polusi tanpa kendali. Udara di sekitar kita pasti akan tercemar oleh berbagai zat berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat (PM). Zat-zat ini, jika terhirup dalam jangka panjang, dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius. Mulai dari iritasi pada saluran pernapasan, penyakit paru-paru kronis, asma, hingga penyakit jantung dan pembuluh darah. Kelompok yang paling rentan terkena dampaknya adalah anak-anak, orang tua, dan mereka yang sudah memiliki riwayat penyakit pernapasan.

Baku mutu emisi juga membantu menjaga lingkungan dari kerusakan akibat polusi udara. Misalnya, mengurangi hujan asam dan pencemaran merkuri yang bisa merusak ekosistem. Dengan mengontrol emisi PLTU, kita bisa mendapatkan energi listrik yang dibutuhkan tanpa terlalu merusak lingkungan. Ini penting untuk pembangunan yang berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan menjaga lingkungan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Tentu saja, menerapkan Permen LHK No. 15 Tahun 2019 bukan tanpa tantangan. Perlu pengawasan yang ketat agar semua PLTU mematuhi peraturan. PLTU yang sudah lama beroperasi mungkin perlu investasi lebih untuk memasang teknologi pengendalian emisi yang lebih baik.

Namun, ada harapan besar ke depan. Semakin banyak orang sadar akan pentingnya energi bersih. Pemerintah juga terus mendorong pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Dengan waktu, diharapkan PLTU di Indonesia akan semakin bersih dan efisien, sehingga kita bisa mendapatkan listrik yang cukup sambil menjaga udara tetap bersih dan sehat untuk semua.

Adanya baku mutu emisi yang jelas, diharapkan PLTU bisa beroperasi dengan lebih bertanggung jawab dan menjaga kualitas udara. Kepatuhan terhadap peraturan ini, bersama dengan dukungan teknologi dan kesadaran semua pihak, akan sangat membantu Indonesia mencapai udara yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih sehat.

 

Pemantauan Emisi Pembangkit Listrik Termal (PLTT)

Pemantauan Emisi Pembangkit Listrik Termal (PLTT)

Pembangkit Listrik Termal

Peningkatan kebutuhan energi listrik di Indonesia, sebagian besar masih dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga termal. Emisi gas buang dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas, mengandung polutan yang berbahaya.

Polutan seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat (PM), merkuri (Hg), dan karbon dioksida (CO2) dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari gangguan pernapasan, penyakit jantung, hingga perubahan iklim.

Menyadari ancaman tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespons dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Peraturan ini menetapkan standar baku mutu emisi yang lebih ketat bagi pembangkit listrik tenaga termal dan mendorong penerapan sistem pemantauan yang lebih canggih.

Sistem Pemantauan Emisi Berkelanjutan (CEMS) Pembangkit Listrik Termal

Salah satu poin dalam peraturan ini adalah kewajiban penggunaan Continuous Emission Monitoring System (CEMS). CEMS merupakan sebuah sistem terintegrasi yang dirancang untuk memantau emisi gas buang dari cerobong pembangkit listrik secara real-time dan berkelanjutan. Sistem ini menggunakan sensor dan perangkat lunak khusus untuk mengukur konsentrasi berbagai polutan dan laju alir gas buang.

Data yang dikumpulkan oleh CEMS memberikan gambaran yang akurat dan terkini tentang kinerja pembangkit listrik dalam hal pengendalian emisi. Informasi ini sangat berharga bagi pihak pembangkit listrik untuk mengidentifikasi potensi masalah, melakukan perbaikan proses, dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.

Kriteria Pembangkit Listrik Termal yang Wajib Memasang CEMS

Tidak semua pembangkit listrik tenaga termal diwajibkan untuk memasang CEMS. Peraturan Menteri LHK No. 15/2019 menetapkan kriteria spesifik berdasarkan jenis pembangkit dan kapasitasnya. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan kapasitas 15 Mega Watt (MW) atau lebih harus menggunakan CEMS.

Pembangkit listrik lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga1 Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTSa), kewajiban CEMS berlaku jika kapasitasnya 25 MW atau lebih. Pembangkit dengan kapasitas di bawah 25 MW juga diwajibkan jika menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur di atas 2% dan beroperasi secara terus-menerus.

Parameter Emisi yang Wajib Dipantau dan Dilaporkan

CEMS tidak hanya sekadar alat pemantau, tetapi juga memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap baku mutu emisi. Sistem ini harus mampu mengukur parameter-parameter yang relevan dengan baku mutu yang ditetapkan untuk setiap jenis pembangkit. Selain itu, CEMS juga harus mengukur kadar oksigen (O2) dan laju alir gas buang. Untuk pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara peraturan ini juga mewajibkan pemantauan kadar merkuri (Hg) dan karbondioksida (CO2), dua polutan yang menjadi perhatian khusus karena dampaknya terhadap kesehatan dan perubahan iklim.

Data pemantauan dari CEMS harus dilaporkan secara berkala dalam format yang telah ditentukan. Laporan ini mencakup data rata-rata emisi per jam dan harian, informasi tentang durasi dan tingkat parameter yang diukur, catatan jika terjadi kelebihan baku mutu, serta informasi jika CEMS tidak beroperasi.

Memastikan Kualitas Data

Agar data yang dihasilkan CEMS dapat diandalkan, peraturan ini mewajibkan adanya pengendalian dan jaminan mutu. Ini berarti pembangkit listrik harus memastikan CEMS beroperasi sesuai dengan spesifikasi kinerja yang tertulis dalam manual, semua bagian berfungsi dengan baik, dan dilakukan kalibrasi secara berkala.

Validasi data juga merupakan bagian penting. Data pemantauan CEMS dianggap valid jika data rata-rata harian yang diperoleh mencakup minimal 75% dari hasil pembacaan rata-rata setiap jam.

Prosedur Saat CEMS Mengalami Gangguan

Jika CEMS mengalami kerusakan dan tidak dapat beroperasi, peraturan ini memberikan panduan yang jelas. Dalam rentang waktu 3 bulan hingga 1 tahun setelah kerusakan, pembangkit listrik wajib beralih ke pemantauan emisi secara manual, minimal sekali setiap tiga bulan. Jika CEMS masih belum berfungsi setelah satu tahun, pemantauan manual harus dilakukan lebih sering, yaitu minimal sekali setiap bulan.

Selama CEMS tidak aktif, pembangkit listrik juga diwajibkan untuk mencatat data produksi dan perkembangan perbaikan CEMS secara mandiri.

Kondisi Tidak Normal dan Batas Toleransi Emisi

Operasional pembangkit listrik tidak selalu berjalan mulus, ada kalanya terjadi kondisi tidak normal. Sering terjadi gangguan pasokan listrik eksternal, proses mematikan atau menyalakan pembangkit, atau gangguan pada alat pengendali polusi udara. Dalam kondisi tersebut, peraturan memperbolehkan emisi melebihi baku mutu, tetapi dengan batas toleransi. Kelebihan emisi tidak boleh lebih dari 5% dari data rata-rata harian selama periode pelaporan tiga bulan.

Penerapan CEMS dan ketentuan lain dalam Peraturan Menteri LHK No. 15/2019 merupakan langkah maju dalam upaya mengendalikan emisi dari PLTT. Dengan pemantauan yang lebih ketat dan rinci, diharapkan pembangkit listrik dapat beroperasi lebih efisien, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?