Konsultan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Industri Karet Remah

Konsultan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Industri Karet Remah

Karet remah (crumb rubber) merupakan produk karet alam yang dihasilkan dari getah batang pohon karet (Hevea Brasiliensis) secara mekanis dengan atau tanpa penggunaan bahan kimia. Produk ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari bahan baku untuk ban kendaraan hingga campuran untuk aspal dan produk-produk karet lainnya. Meski sangat bermanfaat, proses pengolahan karet memerlukan energi dan bahan kimia yang signifikan, yang pada gilirannya berdampak terhadap lingkungan, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca (GRK).

Proses Kegiatan Industri Karet Remah

  1. Industri karet melibatkan beberapa proses utama, antara lain penyadapan, koagulasi dan pengasaman, penggilingan dan pengeringan, pemurnian dan vulkanisasi, serta pencetakan dan pembentukan. Tiap proses ini memerlukan energi dan bahan kimia yang berbeda, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang bervariasi.
  2. Proses Penyadapan adalah pengumpulan getah dari pohon karet. Getah ini disebut lateks, yang merupakan cairan yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Lateks belum mengalami penggumpalan dan masih dalam bentuk cairan yang selanjutnya dapat diolah.
  3. Proses Koagulasi dan pengasaman adalah proses kimia untuk mengubah lateks menjadi padatan. Setelah penyadapan, lateks perlu diubah menjadi padatan melalui proses koagulasi dan pengasaman. Koagulasi adalah proses yang menggunakan bahan kimia untuk mengubah lateks menjadi bekuan, sedangkan pengasaman adalah proses pengeringan dan pengasaman yang dilakukan untuk menghilangkan air dan bahan kimia lainnya dari karet.
  4. Proses Penggilingan dan pengeringan dilakukan untuk menipiskan bekuan lateks dan menghilangkan air serta bahan kimia lainnya. Penggilingan menggunakan mesin seperti mesin macerator/crepper untuk menggiling cacah karet menjadi lembaran blenket dengan ketebalan tertentu. Pengeringan dilakukan melalui ruang pengasapan untuk mengeringkan lembaran-lembaran sheet karet.
  5. Proses Pemurnian dan vulkanisasi mengolah karet untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan. Pemurnian melibatkan proses pembersihan dan penggolongan untuk menghilangkan kotoran dan bahan tambahan yang tidak diperlukan. Vulkanisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan untuk mengubah karet menjadi lebih elastis dan kuat, sehingga dapat digunakan dalam berbagai aplikasi.
  6. Langkah terakhir, pencetakan dan pembentukan mengubah karet menjadi produk jadi. Pencetakan melibatkan proses pembentukan karet menjadi produk jadi seperti ban mobil, sol sepatu, dan peralatan rumah tangga lainnya. Pembentukan ini melibatkan penggunaan mesin dan peralatan yang canggih untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Emisi yang Dihasilkan dari Proses Produksi Karet Remah

Proses produksi karet, terutama dalam industri karet remah, menghasilkan beberapa jenis emisi. Beberapa di antaranya termasuk emisi GRK seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Selain itu, terdapat pula emisi gas amoniak (NH3) dan bau amoniak yang dihasilkan selama proses produksi. Emisi-emisi ini berdampak terhadap perubahan iklim dan kualitas udara.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi emisi GRK yang dihasilkan dari proses produksi karet remah, beberapa upaya dapat dilakukan.

  1. Melakukan optimasi dalam proses produksi untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan energi dengan menggunakan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
  2. Menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan dan memiliki indeks emisi yang rendah, seperti bahan organik yang dapat mengurangi emisi CO2.
  3. Melakukan pengelolaan limbah yang baik untuk mengurangi emisi gas amoniak dan bau amoniak dengan menggunakan teknologi pengolahan limbah yang efektif.
  4. Melakukan pengawasan dan monitoring emisi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat emisi yang dihasilkan. Perusahaan dapat menggunakan platform penghitungan emisi GRK untuk monitoring emisi secara real-time, mengevaluasi kinerja, dan membantu dalam pengembangan strategi pengurangan emisi yang lebih efektif.

Memperkecil Dampak Negatif Industri Karet Remah terhadap Lingkungan

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak negatif industri karet terhadap lingkungan. Pertama, efisiensi energi dapat dicapai dengan menggunakan teknologi yang lebih efisien untuk mengurangi konsumsi energi. Penggunaan energi terbarukan juga bisa menjadi solusi dengan mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan. Selain itu, pengelolaan limbah yang lebih baik bisa membantu mengurangi emisi metana. Mengembangkan proses produksi yang lebih ramah lingkungan dan melakukan reforestasi dengan menanam pohon untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer juga bisa menjadi langkah yang efektif.

Perusahaan di Sektor Industri Karet Remah

Berikut adalah beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri karet remah di Indonesia yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca:

  1. PT Anugerah Agung Abadi
  2. PT P&P Bangkinang
  3. PT Guangken Rubber Pnk-Ina
  4. PT Nusantara Batulicin
  5. PT Kirana Megatara Tbk

Bagaimana Lensa Lingkungan Dapat Membantu Industri Karet Remah

Lensa Lingkungan memiliki keahlian dan pengalaman dalam menginventarisasi emisi gas rumah kaca di berbagai industri, termasuk industri karet. Kami menawarkan layanan konsultasi dan solusi yang disesuaikan untuk membantu perusahaan dalam mengidentifikasi sumber emisi, mengukur emisi secara akurat, dan mengembangkan strategi untuk mengurangi emisi tersebut. Dengan menggunakan platform penghitungan gas rumah kaca yang canggih, kami dapat memberikan laporan yang detail dan rekomendasi yang tepat.

Kami juga bekerja sama dengan Actia Carbon untuk menyediakan platform penghitungan Gas Rumah Kaca yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengukur dan mengelola emisi mereka dengan lebih efektif. Klik disini agar terhubung dengan tim kami!

 

Mekanisme dan Prosedur Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia

Mekanisme dan Prosedur Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia

Nilai ekonomi karbon (NEK) menjadi salah satu fokus utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Dalam artikel ini, kami akan membahas skema mekanisme dan prosedur penyelenggaraan NEK serta bagaimana implementasinya dilakukan oleh berbagai pihak terkait.

 

 Mekanisme Penyelenggaraan NEK

Terdapat empat mekanisme utama dalam penyelenggaraan NEK, yakni perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lainnya yang mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  1. Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon merupakan salah satu mekanisme yang paling dikenal dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Terdapat dua kelompok dalam perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi. Perdagangan emisi dapat dilakukan secara domestik maupun internasional. Di tingkat domestik, infrastruktur pasar karbon telah disiapkan, sementara di tingkat internasional, perdagangan karbon dilakukan melalui kerjasama bilateral.

Dalam perdagangan karbon, carbon footprint merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur dan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Menghitung carbon footprint produk melibatkan pengukuran emisi dari beberapa sumber, yang dikenal sebagai carbon footprint scopes. Scopes 1, 2, dan 3 merupakan sumber emisi yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kontrol yang dikendalikan oleh perusahaan.

Peraturan yang mengatur perdagangan karbon telah diatur dalam Permen Nilai Ekonomi Karbon. Hal-hal yang menjadi perhatian utama dalam perdagangan emisi adalah regulasi mengenai cap and allowance yang diatur melalui PT BAE dan PT BAE-PU untuk masing-masing sektor terkait.

  1. Pembayaran Berbasis Kinerja

Selain perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja juga menjadi mekanisme penting dalam penyelenggaraan NEK. Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha atau individu yang berhasil mengurangi emisi GRK atau melakukan upaya mitigasi perubahan iklim.

  1. Pungutan Atas Karbon

Pungutan atas karbon merupakan mekanisme yang diatur oleh Kementerian Keuangan. Mekanisme ini bertujuan untuk menetapkan tarif atau pajak atas emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu kegiatan ekonomi. Pendapatan dari pungutan ini dapat digunakan untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

  1. Mekanisme Lainnya

Selain tiga mekanisme utama tersebut, terdapat pula mekanisme lainnya yang mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mekanisme ini dapat berupa inovasi dalam teknologi pengurangan emisi GRK atau pengembangan metode baru dalam mengukur dan memonitor emisi karbon.

 

 Prosedur Penyelenggaraan NEK

Prosedur penyelenggaraan NEK melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Secara umum, prosedur ini mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Beberapa prosedur khusus yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan NEK antara lain:

  • Penetapan baseline dan target pengurangan emisi GRK
  • Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK (SPE GRK) yang menjadi unit dalam sistem karbon dan perdagangan karbon
  • Tata kelola pasar karbon dan infrastruktur yang mendukung perdagangan karbon

 

 Implementasi oleh Pihak Terkait

Penyelenggaraan NEK dilakukan oleh berbagai pihak terkait sesuai dengan perannya masing-masing. Kementerian dan lembaga terkait bertanggung jawab dalam menyusun peraturan dan kebijakan terkait NEK, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab dalam implementasi program-program mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal.

Pelaku usaha memiliki peran penting dalam mengurangi emisi GRK dan berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Masyarakat juga diharapkan untuk terlibat aktif dalam upaya mitigasi perubahan iklim, baik melalui kegiatan sehari-hari maupun mendukung kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon melalui berbagai mekanisme dan prosedur merupakan langkah yang penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan memastikan implementasi yang efektif, diharapkan Indonesia dapat mencapai target mitigasi perubahan iklim sesuai dengan komitmen internasionalnya. Dengan adanya regulasi yang jelas dan infrastruktur yang mendukung, Indonesia dapat menjadi contoh dalam upaya mitigasi perubahan iklim di tingkat global.

 

 

NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia 2022, Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim, telah meneguhkan komitmennya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim. Hal ini tercermin dari penyampaian dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) pada tahun 2022 yang lalu. Indonesia secara resmi meneguhkan komitmennya dengan menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) yang bertujuan untuk memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim. Dokumen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju ketahanan iklim yang lebih baik. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang isi dan implikasi dari dokumen Enhanced NDC 2022 bagi Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.

Enhanced NDC

Enhanced NDC adalah komitmen yang disepakati oleh negara-negara peserta Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) untuk meningkatkan ambisi mitigasi perubahan iklim dari NDC sebelumnya. Dokumen ini merupakan bagian integral dari Persetujuan Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global menjadi di bawah 2°C, idealnya 1,5°C, di atas tingkat pra-industri. Angka ini telah didasarkan pada riset ilmiah yang mendalam tentang dampak-dampak yang akan terjadi jika suhu global terus meningkat secara signifikan. Mencegah kenaikan suhu global merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.

Komitmen dalam Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022

Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022 mencakup sejumlah komitmen dan langkah-langkah konkret dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Beberapa poin utama yang terdapat dalam dokumen ini antara lain:

  1. Target Penurunan Emisi: Dokumen ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta langkah-langkah konkret untuk mencapainya.
  2. Pengembangan Energi Terbarukan: Enhanced NDC menekankan pentingnya pengembangan dan peningkatan penggunaan energi terbarukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia akan fokus pada pengembangan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro.
  3. Pengelolaan Hutan dan Lahan: Memperkuat upaya konservasi hutan dan lahan dengan menghentikan deforestasi ilegal, merehabilitasi lahan gambut, dan mendorong praktik agroforestri. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan hutan dan lahan sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim. Indonesia akan mengimplementasikan kebijakan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan penyerapan karbon melalui reboisasi dan restorasi lahan.
  4. Strategi Sektorial: Mengidentifikasi sektor-sektor kunci yang berkontribusi pada emisi, termasuk energi, industri, transportasi, dan pertanian, dengan strategi khusus untuk masing-masing sektor, seperti penggunaan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi.
  5. Penguatan Infrastruktur Berkelanjutan: Meningkatkan investasi dalam infrastruktur berkelanjutan, termasuk transportasi massal yang ramah lingkungan dan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
  6. Partisipasi dalam Kerjasama Internasional: Menegaskan keterlibatan aktif Indonesia dalam kerjasama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk melalui partisipasi dalam forum internasional dan mekanisme pasar karbon global.
  7. Pemantauan dan Pelaporan Berkelanjutan: Mengimplementasikan mekanisme pemantauan dan pelaporan yang ketat untuk memastikan pencapaian target-target yang ditetapkan dan meningkatkan transparansi dalam pelaksanaan program mitigasi.

Implikasi dan Tantangan

Meskipun Enhanced NDC Indonesia 2022 menawarkan komitmen yang kuat dalam upaya mitigasi perubahan iklim, namun ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Beberapa implikasi dan tantangan yang muncul antara lain:

  1. Keterbatasan Sumber Daya: Implementasi target-target yang tertuang dalam Enhanced NDC akan menghadapi keterbatasan sumber daya baik dari segi finansial maupun teknis. Diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mengatasi tantangan ini.
  2. Perubahan Kebijakan: Penetapan target-target baru dalam Enhanced NDC mungkin memerlukan perubahan kebijakan yang signifikan. Proses perubahan kebijakan ini harus dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai sektor.
  3. Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat: Pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya mitigasi perubahan iklim perlu ditingkatkan untuk keberhasilan implementasi Enhanced NDC

menjadi langkah penting Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan komitmen yang kuat dan kerjasama lintas sektor, Indonesia berharap dapat berkontribusi secara signifikan dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, tantangan yang ada tidak boleh diabaikan, dan kerja keras serta kerjasama berbagai pihak diperlukan untuk mencapai tujuan mitigasi perubahan iklim yang ambisius.

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Jika skema perdagangan karbon sudah dibahas pada artikel sebelumnya, dalam artikel ini akan dibahas mengenai berbagai platform dalam perdagangan karbon. Verra merupakan salah satu platform terkemuka dalam perdagangan karbon. Kredit karbon yang terstandardisasi oleh Verra disebut dengan VCU. Skema perdagangan yang ada di platform ini hampir seluruhnya bersistem B2B atau bisnis to bisnis, yang sepenuhnya sukarela. Dimana satu bisnis akan melakukan project pengurangan emisi sedangkan bisnis lainnya akan membeli kredit yang dihasilkan untuk melakukan offset emisi yang mereka hasilkan. Project REED dan AFOLU merupakan project yang memiliki jumlah kredit karbon terbesar. Harganya berkisar antara 0,2 USD hingga 112 USD per VCU. Banyak project VCU yang memiliki lebih dari satu co-benefit seperti perlindungan habitat dan people empowerment yang akan meningkatkan harga kredit karbon. 

Selanjutnya ada platform lain yaitu Gold Standard, yang merupakan karbon market yang dibangun oleh WWF. Platform inimemiliki banyak project yang lebih cenderung ke Teknologi Based Solution (TBS) dibandingkan dengan Natural Based Solution (NBS). Gold Standard juga memfasilitasi transisi project dari Clean Development Mechanism (CDM) ke Voluntary Carbon Market. Unit karbon pada platform Gold Standard disebut dengan Certified Emission Reduction atau CERs untuk project yang bersifat mandatory, sedangkan disebut dengan Verified Emission Reduction untuk project yang bersifat voluntery. Gold Standard juga mendorong project untuk memiliki lebih dari satu co-benefit yang sesuai dengan SDGs yang ada. Dalam platform Gold Standard, setiap project harus menunjukkan bahwa dia mengakomodir SDGs goals nomor berapa dan harus minimal memiliki 4 SDGs yang diselesaikan. Mengenai harga kredit karbon, bergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Selanjutnya ada platform Plan Vivo. Platform Plan Vivo merupakan platform sertifikasi kredit karbon yang lebih menekankan pada social base and small scale carbon project. Pendekatannya adalah secara sosial kemudian mayoritas project-nya berada pada negara berkembang yang berlokasi di people atau cultural owned areas. Dalam Plan Vivo, setiap project juga mewajibkan untuk mengikutsertakan indigenous people dan mewajibkan 60% dari keuntungan atau benefit dari penjualan karbon harus disalurkan kepada indigenous people yang berpartisipasi. Unit karbon dalam platform Plan Vivo disebut dengan Plan Vivo Certificates atau PVCs. 

Beberapa contoh Credit Project yang ada di Indonesia diantaranya yaitu di sektor energi ada Medco Energi dan Methane Capture di Methane Recovery in Wastewater. Salah satu yang cukup terkenal di dunia yaitu Katingan Project, merupakan salah satu yang terbesar dan bisa dibilang harga kredit karbonnya cukup tinggi.

Beberapa contoh project pada platform Gold Standard yaitu ada with One Seed Community Forest Programme dan Sidrap Wind Farm Project. Gold Standard lebih cenderung ke Teknologi Based Solution meskipun tidak menutup kemungkinan adanya project-project yang di sektor AFOLU ataupun RED. Beberapa contoh project di platform Plan Vivo ada bujang raba, durian rambun, dan gula-gula.

Dengan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan karbon dan keberlanjutan, konsultan gas rumah kaca dapat membantu perusahaan dalam merencanakan dan mengimplementasikan inisiatif pengurangan emisi GRK serta pemanfaatan platform yang berfokus untuk manajemen dan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Jika sebelumnya sudah dibahas mengenai dua skema perdagangan karbon yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS), selanjutnya dalam artikel ini akan dibahas mengenai dua skema lainnya yaitu Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Telah disebutkan pada artikel sebelumnya bahwa platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, serta memberikan kejelasan mengenai kualitas dan cakupan dari proyek-proyek penyerapan karbon.

Skema Joint Implementation (JI) merupakan skema yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari negara maju melalui project kerjasama di negara-negara berkembang atau biasa disebut sebagai host country. Apabila project berhasil maka akan mendapatkan sertifikat Emission Reduction Units (ERU) yang dapat diklaim oleh kedua negara sebagai klaim pengurangan emisi. Lain halnya penerapannya di Indonesia, kebanyakan mayoritas dari project Joint Implementation (JI) yang dilakukan adalah kerjasama dengan pemerintah Jepang. Pada tahun 2022, kurang lebih ada 48 project dan berfokus pada sektor energi dan sektor limbah, baik itu introduksi sumber energi terbarukan ataupun introduksi teknologi pengolahan limbah yang mampu mengurangi emisi yang dihasilkan baik metan ataupun karbondioksida.

Selanjutnya adalah skema Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Carbon Crediting adalah izin atau sertifikat yang dapat diperdagangkan, dapat memberikan hak kepada pemegang kredit untuk beremisi 1 ton karbon dioksida atau setara dengan gas rumah kaca lainnya. Umumnya sertifikat ini dibeli oleh emiter dari para pemilik project penyerapan karbon. Sertifikat karbon diperoleh pemilik project yang kemudian disertifikasi oleh pihak ketiga atau lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi karbon kredit. Ketika kreditnya sudah verified, maka dapat dijual dengan mekanisme pasar bebas, namun ditentukan pada kualitas dan cakupan yang menjadi tingkat “keseksian” dari project karbon tersebut. Tingkat “keseksian” inilah yang secara tidak langsung menentukan harga dari kredit project tersebut. Dalam skema Carbon Offsetting, ada istilah Voluntary Carbon Market yang mana ada beberapa platform terkemuka seperti Verra, Gold Standard, American Carbon Registry, Plan Vivo, atau Climate Action Reserve. Dari sekian platform yang ada, Verra merupakan platform nomor 1 yang memiliki jumlah project yang paling banyak diikuti. Selain dari lima platform yang telah disebutkan, sebenarnya masih banyak lagi platform yang lain, seperti ada Corsia Aviation dan CCB, namun biasanya memang disatukan dalam satu verifikasi sehingga nilai atau harga dari project tersebut akan meningkat. Sebagai informasi tambahan, rata-rata harga dari karbon kredit, sebagai contoh yaitu project dari Reduce Emition and Deforestation (RED), yang mana kurang lebih jumlah project paling banyak dipegang oleh project ini. Harga karbon kredit pada project ini di tahun 2021 berkisar antara 3 dolar.

Voluntary Carbon Market merupakan salah satu pasar karbon yang paling besar dibandingkan dengan CDM atau JI, ataupun dibandingkan ketiga pasar lainnya. Setiap tahunnya, karbon kredit di pasar ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun berakibat pada menurunnya harga rata-rata dari Natural Based Solution (NBS) yang dilakukan. Namun hal itu bukan berarti bahwa harga dari karbon kredit yang berasal dari Natural Based Solution (NBS) sangat rendah. Jumlahnya yang tinggi memengaruhi nilai rata-ratanya, sedangkan beberapa project memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata 1 dolar ini. Di sisi lain, banyak project seperti di Afrika atau di Amerika Selatan yang sulit untuk menembus angka 2 dolar, karena kembali lagi dari kualitas serta dari cakupan project yang kurang menyeluruh ataupun tidak memasukkan aspek-aspek penting yang seharusnya dimasukkan ke dalam project itu sendiri.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Dalam hal perdagangan karbon, terdapat suatu rancangan di dalamnya yang selanjutnya kita sebut dengan skema perdagangan karbon. Skema perdagangan karbon hadir sebagai komitmen Global yang dimulai dari Kyoto Protocol. Dalam Kyoto Protocol dihasilkan produk berupa rancangan atau skema yang disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM) serta konferensi-konferensi lainnya yang menghasilkan nilai kontribusi pengurangan emisi nasional yang dikenal dengan istilah National Determined Contribution (NDC). mulai dari perjalanan dari Kyoto Protocol hingga konferensi-konferensi berikutnya, hanya ada sedikit perubahan dari awal CDM terbentuk yang mana tidak mengubah nilai ­fogs-nya.

Dalam perdagangan karbon, karbon adalah objek yang bersifat intensible, maksudnya adalah tidak dapat dipegang dan ia bukan merupakan karbon aktif. Perdagangan karbon itu adalah suatu hal yang sedang terjadi atau happening sekarang. Beberapa orang berpikir bahwa perdagangan karbon adalah jual beli arang atau jual beli karbon aktif, namun bukan seperti itu. Karbon dalam perdagangan karbon merupakan suatu benda yang dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan CO2 atau ton CO2 equivalen. Karbon yang dibahas ini dapat berupa jasa atau kuota emisi, serta bersifat pengurangan atau penambahan. Hal ini bisa cukup rumit atau tricky, karena di satu sisi bisa bersifat mengurangi atau di sisi lain bisa bersifat menambah.

Selanjutnya, ada beberapa skema perdagangan karbon yang umum dikenal. Pertama, Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan produk dari Kyoto Protocol. Kedua, Emission Trading System (ETS). Ketiga, Joint Implementation (JI). Keempat, ada Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua skema, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS).

Pertama, kita kupas mengenai Clean Development Mechanism (CDM). Clean Development Mechanism (CDM) merupakan suatu mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam framework kerjasama antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Objek utama dari skema perdagangan ini adalah sertifikasi karbon yang ditangkap oleh negara berkembang dan digunakan oleh emiter-emiter di negara-negara maju. Ketika negara berkembang melakukan suatu project untuk mengurangi emisi atau “menangkap emisi”, unit yang tersertifikasi tersebut dijual ke negara maju yang akan diklaim sebagai pengurangan emisi di negara-negara maju. Berdasarkan UNFCCC, project CDM di Indonesia kurang lebih ada 156 project, yang telah terverifikasi sebanyak 49 project dengan total volume karbon sebanyak 34 juta ton CO2. Jumlah tersebut dikenai harga berkisar antara 1 USD sampai dengan 7 USD per ton CO2, tergantung kepada jenis project ataupun teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Kedua, skema yang kita kenal sebagai Emission Trading System (ETS). Emission Trading System (ETS) merupakan skema transfer emisi antar anggota sistem yang umumnya terkoneksi dalam satu grip yang sama, seperti di EU (Europe) ETS, China ETS, NA ETS, dan sebagainya. Mayoritas Emission Trading System (ETS) di beberapa grip ini dilakukan karena ada kewajiban atau sifatnya mandatory bagi setiap anggota sistem tersebut untuk mengurangi atau membatasi emisi yang dihasilkan. Emission Trading System (ETS) biasanya ada yang disebut dengan alokasi atau allowance untuk emisi GRK dalam satu periode. Misalnya dalam satu tahun setiap orang atau setiap anggota dalam ETS A memiliki allowance sebanyak 1000 ton CO2. Ketika allowance itu ada yang tersisa di salah satu anggotaataupun ketika ada anggota yang menghasilkan emisi melebihi dari allowance yang diperbolehkan, maka pada moment inilah terjadi perdagangan karbon atau perdagangan emisi antar anggota sistem ETS itu sendiri. Di Indonesia, ETS sudah mulai dilaksanakan pada Februari 2023 untuk seluruh PLTU batubara dimana sistem transaksinya diatur oleh Bursa Efek Indonesia dalam Apple Gatrix application, untuk semua update seperti Real Time Emission Report kemudian jumlah batasan allowancenya untuk masing-masing PLTU serta harganya berapa dan bagaimana trading yang terjadi.

Dalam konteks skema perdagangan karbon, platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, dan mendorong kolaborasi antar pihak yang terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Jasa konsultan gas rumah kaca berperan penting untuk memberikan pandangan ahli terkait implementasi skema perdagangan karbon, membantu perusahaan dan pemerintah dalam pemilihan strategi yang tepat, serta memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan standar internasional.

Asal Mula Perdagangan Karbon

Asal Mula Perdagangan Karbon

Ada cerita menarik mengenai munculnya perdagangan karbon yang bisa menjadi wawasan baru bagi kita semua. Inisiasi perdagangan karbon diawali dengan adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkelanjutan. Efek rumah kaca yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi ini akan mempercepat laju pencairan es di kedua kutub sehingga berimbas pada peningkatan volume air di lautan yang pastinya menjadi ancaman bagi negara-negara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut, seperti Tuvalu dan Maldive. Negara-negara tersebut diprediksi akan kehilangan sebagian besar hingga 100% wilayahnya pada tahun 2050.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) juga menyebabkan disrupsi kepada kondisi alami musim secara global. Disrupsi yang dimaksud adalah yang pertama berupa bergesernya waktu seperti yang terjadi di musim hujan dan musim kemarau, yang saat ini kita rasakan. Kedua, terjadi perubahan durasi musim, maksudnya adalah musim panas yang lebih panjang, musim hujan yang lebih panjang atau lebih pendek. Ketiga, terjadi perubahan intensitas musim, seperti yang terjadi di beberapa negara yang mengalami musim panas yang berubah menjadi heatwave, di negara-negara yang mengalami musim dingin terjadinya freezing winter yang dinginnya melebihi batas normal. Disrupsi siklus musim alami ini juga akan berpengaruh pada aspek kehidupan manusia, seperti terganggunya produksi pangan, gangguan kesehatan, dan hilangnya spesies kunci yang berperan bagi kehidupan manusia, seperti berkurangnya jumlah serangga atau misalnya lebah sebagai penyerbuk alami di banyak tanaman pangan utama yang penting bagi manusia. Ditambah lagi, habitat alami yang berperan bagi kehidupan manusia juga terancam terganggu, yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi pusat nursery bagi ikan-ikan di laut. Disrupsi musim ini akan berujung pada kerugian ekonomi yang sudah kita rasakan saat ini serta generasi anak cucu kita akan merasakan penurunan kualitas hidup nantinya.

Data dari IPCC tahun 2021 menyampaikan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan suhu rata-rata pada tahun 1900. Jika  dilihat pada siklus alaminya, suhu rata-rata akan mengalami penurunan pada suatu titik. Ketika sudah naik dan peningkatannya melebihi peningkatan sebelumnya, maka penurunan yang terjadi tidak akan mampu untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. IPCC juga menyampaikan bahwa kita yang hidup saat ini akan merasakan sebagian kecil dari efek global warming, sedangkan sebagian besar lainnya diprediksi baru akan dirasakan oleh generasi anak dan cucu kita, khususnya bagi yang baru lahir pada tahun 2020 apabila tidak ada kemauan dan aksi nyata yang kita lakukan untuk mengurangi emisi yang telag kita hasilkan. Jika kita membagi jumlah emisi per negara dan perbenua, maka emisi GRK terbesar dihasilkan oleh China dan Amerika yang kurang lebih menghasilkan 40% dari total emisi global. Disusul dengan India, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa, sedangkan Afrika yang notabenya memiliki luas benua cukup besar hanya berkontribusi sebanyak 3% dari emisi global. Berbeda hasilnya jika kita membagi emisi tersebut dengan jumlah penduduk menjadi emisi GRK perkapita, jumlah emisi Cina akan menurun drastis karena jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa sedangkan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit namun emisinya cenderung tinggi seperti Qatar, Singapura, Brunei akan menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Cina.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang menjadi alasan atas terinisiasinya perdagangan karbon di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

 

 

Kebijakan Global tentang Perubahan Iklim

Berbicara mengenai Kebijakan Perubahan Iklim, ada dua yang kita bahas, yaitu global dan nasional. Kita bahas dahulu yang pertama, mengenai kebijakan global. Baru-baru ini, sudah ada the latest science on climate change, jadi ada assessment report yang keenam dari IPCC, sudah disepakati pada pertemuan 58 di Interlaken, Switzerland.

Pertemuan tersebut penting karena di sana semakin jelas mandat-mandat yang harus kita laksanakan. Di sana sudah sangat menunjukkan bahwa perubahan iklim ini benar-benar terjadi, bukan hanya konspirasi yang selama ini beberapa scientist di perguruan tinggi Indonesia masih ada yang menganggap seperti itu. Sudah sangat jelas bahwa perubahan iklim adalah anthropogenic, yaitu karena manusia. Jadi bukan seperti letusan gunung berapi dan sebagainya, bukan suatu hal yang signifikan dan yang jelas perubahan iklim ini akan terus terjadi. Karena apa? Karena pemanasan global terus terjadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga karbon pada atmosfer harus tetap distabilisasi.

Stabilisasi yang dimaksud artinya bahwa karbon di atmosfer itu penting, sehingga tidak boleh kita hilangkan, hanya kita stabilisasi. Kalau bisa, pada posisi 300 BPM. Karena sebelum pra-industrialisasi  selalu berada di 300 BPM dan kita pada kondisi suhu yang nyaman, yaitu rata-rata global 15 derajat celsius. Sekarang, konsentrasi Gas Rumah Kaca sudah sampai 417, sedangkan dari data BMKG Indonesia di angka 412. Hal ini menunjukkan bahwa angkanya sudah selalu meningkat. Zaman dulu, sebelum industrialisasi, jika meningkat kemudian turun lagi, sedangkan ini sudah meningkat sampai 400 lebih, dan terus masih meningkat. Hal ini dikhawatirkan nanti di tahun 2100 mencapai 450, sehingga suhunya akan di atas 20 derajat celsius. Jadi kita harus terus melakukan penghitungan emisi GRK kita secara periodik dan mengetahui pengurangan emisi termasuk tracking atau pelacakan, aksi mitigasi capaian NDC. Perhitungan gas rumah kaca (https://www.lensalingkungan.com/jasa-kajian-inventarisasi-gas-rumah-kaca) sendiri benar-benar harus dilakukan oleh tim yang memiliki kualifikasi yang sesuai dan berstandard internasional. Sebuah perusahaan seperti Actia Carbon dapat membantu perusahaan dalam menghitung GRK dan merumuskan rencana aksi Net Zero Emission.

Mandat Global dari Inventarisasi dan Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca termasuk kepada Indonesia bahwa secara regular harus menyampaikan Laporan Inventarisasi Emisi GRK Nasional dengan menggunakan metodologi yang diterima oleh IPCC dan disetujui COP atau CMA pada Perjanjian Paris. Guna meningkatkan trust, confidence untuk effective implementation, dan juga global stocktake, maka penyampian harus mengikuti pedoman dari IPCC. Tiap negara pihak juga harus mengadopsi kebijakan nasionalnya masing-masing. Terdapat prinsip CBDR-RC, Common but Differentiated Responsibilities dan National Circumstances ini harus mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mitigasi perubahan iklim.

Jika perusahaan membutuhkan bantuan pendampingan dalam kegiatan karbon, maka tim ahli kami dari Lensa Lingkungan dan Actia Carbon yang sudah berpengalaman dalam menyusun laporan inventarisasi gas rumah kaca, dapat membantu anda.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?