NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia 2022, Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim, telah meneguhkan komitmennya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim. Hal ini tercermin dari penyampaian dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) pada tahun 2022 yang lalu. Indonesia secara resmi meneguhkan komitmennya dengan menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) yang bertujuan untuk memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim. Dokumen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju ketahanan iklim yang lebih baik. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang isi dan implikasi dari dokumen Enhanced NDC 2022 bagi Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.

Enhanced NDC

Enhanced NDC adalah komitmen yang disepakati oleh negara-negara peserta Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) untuk meningkatkan ambisi mitigasi perubahan iklim dari NDC sebelumnya. Dokumen ini merupakan bagian integral dari Persetujuan Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global menjadi di bawah 2°C, idealnya 1,5°C, di atas tingkat pra-industri. Angka ini telah didasarkan pada riset ilmiah yang mendalam tentang dampak-dampak yang akan terjadi jika suhu global terus meningkat secara signifikan. Mencegah kenaikan suhu global merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.

Komitmen dalam Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022

Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022 mencakup sejumlah komitmen dan langkah-langkah konkret dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Beberapa poin utama yang terdapat dalam dokumen ini antara lain:

  1. Target Penurunan Emisi: Dokumen ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta langkah-langkah konkret untuk mencapainya.
  2. Pengembangan Energi Terbarukan: Enhanced NDC menekankan pentingnya pengembangan dan peningkatan penggunaan energi terbarukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia akan fokus pada pengembangan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro.
  3. Pengelolaan Hutan dan Lahan: Memperkuat upaya konservasi hutan dan lahan dengan menghentikan deforestasi ilegal, merehabilitasi lahan gambut, dan mendorong praktik agroforestri. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan hutan dan lahan sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim. Indonesia akan mengimplementasikan kebijakan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan penyerapan karbon melalui reboisasi dan restorasi lahan.
  4. Strategi Sektorial: Mengidentifikasi sektor-sektor kunci yang berkontribusi pada emisi, termasuk energi, industri, transportasi, dan pertanian, dengan strategi khusus untuk masing-masing sektor, seperti penggunaan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi.
  5. Penguatan Infrastruktur Berkelanjutan: Meningkatkan investasi dalam infrastruktur berkelanjutan, termasuk transportasi massal yang ramah lingkungan dan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
  6. Partisipasi dalam Kerjasama Internasional: Menegaskan keterlibatan aktif Indonesia dalam kerjasama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk melalui partisipasi dalam forum internasional dan mekanisme pasar karbon global.
  7. Pemantauan dan Pelaporan Berkelanjutan: Mengimplementasikan mekanisme pemantauan dan pelaporan yang ketat untuk memastikan pencapaian target-target yang ditetapkan dan meningkatkan transparansi dalam pelaksanaan program mitigasi.

Implikasi dan Tantangan

Meskipun Enhanced NDC Indonesia 2022 menawarkan komitmen yang kuat dalam upaya mitigasi perubahan iklim, namun ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Beberapa implikasi dan tantangan yang muncul antara lain:

  1. Keterbatasan Sumber Daya: Implementasi target-target yang tertuang dalam Enhanced NDC akan menghadapi keterbatasan sumber daya baik dari segi finansial maupun teknis. Diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mengatasi tantangan ini.
  2. Perubahan Kebijakan: Penetapan target-target baru dalam Enhanced NDC mungkin memerlukan perubahan kebijakan yang signifikan. Proses perubahan kebijakan ini harus dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai sektor.
  3. Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat: Pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya mitigasi perubahan iklim perlu ditingkatkan untuk keberhasilan implementasi Enhanced NDC

menjadi langkah penting Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan komitmen yang kuat dan kerjasama lintas sektor, Indonesia berharap dapat berkontribusi secara signifikan dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, tantangan yang ada tidak boleh diabaikan, dan kerja keras serta kerjasama berbagai pihak diperlukan untuk mencapai tujuan mitigasi perubahan iklim yang ambisius.

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Jika skema perdagangan karbon sudah dibahas pada artikel sebelumnya, dalam artikel ini akan dibahas mengenai berbagai platform dalam perdagangan karbon. Verra merupakan salah satu platform terkemuka dalam perdagangan karbon. Kredit karbon yang terstandardisasi oleh Verra disebut dengan VCU. Skema perdagangan yang ada di platform ini hampir seluruhnya bersistem B2B atau bisnis to bisnis, yang sepenuhnya sukarela. Dimana satu bisnis akan melakukan project pengurangan emisi sedangkan bisnis lainnya akan membeli kredit yang dihasilkan untuk melakukan offset emisi yang mereka hasilkan. Project REED dan AFOLU merupakan project yang memiliki jumlah kredit karbon terbesar. Harganya berkisar antara 0,2 USD hingga 112 USD per VCU. Banyak project VCU yang memiliki lebih dari satu co-benefit seperti perlindungan habitat dan people empowerment yang akan meningkatkan harga kredit karbon. 

Selanjutnya ada platform lain yaitu Gold Standard, yang merupakan karbon market yang dibangun oleh WWF. Platform inimemiliki banyak project yang lebih cenderung ke Teknologi Based Solution (TBS) dibandingkan dengan Natural Based Solution (NBS). Gold Standard juga memfasilitasi transisi project dari Clean Development Mechanism (CDM) ke Voluntary Carbon Market. Unit karbon pada platform Gold Standard disebut dengan Certified Emission Reduction atau CERs untuk project yang bersifat mandatory, sedangkan disebut dengan Verified Emission Reduction untuk project yang bersifat voluntery. Gold Standard juga mendorong project untuk memiliki lebih dari satu co-benefit yang sesuai dengan SDGs yang ada. Dalam platform Gold Standard, setiap project harus menunjukkan bahwa dia mengakomodir SDGs goals nomor berapa dan harus minimal memiliki 4 SDGs yang diselesaikan. Mengenai harga kredit karbon, bergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Selanjutnya ada platform Plan Vivo. Platform Plan Vivo merupakan platform sertifikasi kredit karbon yang lebih menekankan pada social base and small scale carbon project. Pendekatannya adalah secara sosial kemudian mayoritas project-nya berada pada negara berkembang yang berlokasi di people atau cultural owned areas. Dalam Plan Vivo, setiap project juga mewajibkan untuk mengikutsertakan indigenous people dan mewajibkan 60% dari keuntungan atau benefit dari penjualan karbon harus disalurkan kepada indigenous people yang berpartisipasi. Unit karbon dalam platform Plan Vivo disebut dengan Plan Vivo Certificates atau PVCs. 

Beberapa contoh Credit Project yang ada di Indonesia diantaranya yaitu di sektor energi ada Medco Energi dan Methane Capture di Methane Recovery in Wastewater. Salah satu yang cukup terkenal di dunia yaitu Katingan Project, merupakan salah satu yang terbesar dan bisa dibilang harga kredit karbonnya cukup tinggi.

Beberapa contoh project pada platform Gold Standard yaitu ada with One Seed Community Forest Programme dan Sidrap Wind Farm Project. Gold Standard lebih cenderung ke Teknologi Based Solution meskipun tidak menutup kemungkinan adanya project-project yang di sektor AFOLU ataupun RED. Beberapa contoh project di platform Plan Vivo ada bujang raba, durian rambun, dan gula-gula.

Dengan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan karbon dan keberlanjutan, konsultan gas rumah kaca dapat membantu perusahaan dalam merencanakan dan mengimplementasikan inisiatif pengurangan emisi GRK serta pemanfaatan platform yang berfokus untuk manajemen dan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Dalam hal perdagangan karbon, terdapat suatu rancangan di dalamnya yang selanjutnya kita sebut dengan skema perdagangan karbon. Skema perdagangan karbon hadir sebagai komitmen Global yang dimulai dari Kyoto Protocol. Dalam Kyoto Protocol dihasilkan produk berupa rancangan atau skema yang disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM) serta konferensi-konferensi lainnya yang menghasilkan nilai kontribusi pengurangan emisi nasional yang dikenal dengan istilah National Determined Contribution (NDC). mulai dari perjalanan dari Kyoto Protocol hingga konferensi-konferensi berikutnya, hanya ada sedikit perubahan dari awal CDM terbentuk yang mana tidak mengubah nilai ­fogs-nya.

Dalam perdagangan karbon, karbon adalah objek yang bersifat intensible, maksudnya adalah tidak dapat dipegang dan ia bukan merupakan karbon aktif. Perdagangan karbon itu adalah suatu hal yang sedang terjadi atau happening sekarang. Beberapa orang berpikir bahwa perdagangan karbon adalah jual beli arang atau jual beli karbon aktif, namun bukan seperti itu. Karbon dalam perdagangan karbon merupakan suatu benda yang dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan CO2 atau ton CO2 equivalen. Karbon yang dibahas ini dapat berupa jasa atau kuota emisi, serta bersifat pengurangan atau penambahan. Hal ini bisa cukup rumit atau tricky, karena di satu sisi bisa bersifat mengurangi atau di sisi lain bisa bersifat menambah.

Selanjutnya, ada beberapa skema perdagangan karbon yang umum dikenal. Pertama, Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan produk dari Kyoto Protocol. Kedua, Emission Trading System (ETS). Ketiga, Joint Implementation (JI). Keempat, ada Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua skema, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS).

Pertama, kita kupas mengenai Clean Development Mechanism (CDM). Clean Development Mechanism (CDM) merupakan suatu mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam framework kerjasama antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Objek utama dari skema perdagangan ini adalah sertifikasi karbon yang ditangkap oleh negara berkembang dan digunakan oleh emiter-emiter di negara-negara maju. Ketika negara berkembang melakukan suatu project untuk mengurangi emisi atau “menangkap emisi”, unit yang tersertifikasi tersebut dijual ke negara maju yang akan diklaim sebagai pengurangan emisi di negara-negara maju. Berdasarkan UNFCCC, project CDM di Indonesia kurang lebih ada 156 project, yang telah terverifikasi sebanyak 49 project dengan total volume karbon sebanyak 34 juta ton CO2. Jumlah tersebut dikenai harga berkisar antara 1 USD sampai dengan 7 USD per ton CO2, tergantung kepada jenis project ataupun teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Kedua, skema yang kita kenal sebagai Emission Trading System (ETS). Emission Trading System (ETS) merupakan skema transfer emisi antar anggota sistem yang umumnya terkoneksi dalam satu grip yang sama, seperti di EU (Europe) ETS, China ETS, NA ETS, dan sebagainya. Mayoritas Emission Trading System (ETS) di beberapa grip ini dilakukan karena ada kewajiban atau sifatnya mandatory bagi setiap anggota sistem tersebut untuk mengurangi atau membatasi emisi yang dihasilkan. Emission Trading System (ETS) biasanya ada yang disebut dengan alokasi atau allowance untuk emisi GRK dalam satu periode. Misalnya dalam satu tahun setiap orang atau setiap anggota dalam ETS A memiliki allowance sebanyak 1000 ton CO2. Ketika allowance itu ada yang tersisa di salah satu anggotaataupun ketika ada anggota yang menghasilkan emisi melebihi dari allowance yang diperbolehkan, maka pada moment inilah terjadi perdagangan karbon atau perdagangan emisi antar anggota sistem ETS itu sendiri. Di Indonesia, ETS sudah mulai dilaksanakan pada Februari 2023 untuk seluruh PLTU batubara dimana sistem transaksinya diatur oleh Bursa Efek Indonesia dalam Apple Gatrix application, untuk semua update seperti Real Time Emission Report kemudian jumlah batasan allowancenya untuk masing-masing PLTU serta harganya berapa dan bagaimana trading yang terjadi.

Dalam konteks skema perdagangan karbon, platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, dan mendorong kolaborasi antar pihak yang terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Jasa konsultan gas rumah kaca berperan penting untuk memberikan pandangan ahli terkait implementasi skema perdagangan karbon, membantu perusahaan dan pemerintah dalam pemilihan strategi yang tepat, serta memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan standar internasional.

Asal Mula Perdagangan Karbon

Asal Mula Perdagangan Karbon

Ada cerita menarik mengenai munculnya perdagangan karbon yang bisa menjadi wawasan baru bagi kita semua. Inisiasi perdagangan karbon diawali dengan adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkelanjutan. Efek rumah kaca yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi ini akan mempercepat laju pencairan es di kedua kutub sehingga berimbas pada peningkatan volume air di lautan yang pastinya menjadi ancaman bagi negara-negara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut, seperti Tuvalu dan Maldive. Negara-negara tersebut diprediksi akan kehilangan sebagian besar hingga 100% wilayahnya pada tahun 2050.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) juga menyebabkan disrupsi kepada kondisi alami musim secara global. Disrupsi yang dimaksud adalah yang pertama berupa bergesernya waktu seperti yang terjadi di musim hujan dan musim kemarau, yang saat ini kita rasakan. Kedua, terjadi perubahan durasi musim, maksudnya adalah musim panas yang lebih panjang, musim hujan yang lebih panjang atau lebih pendek. Ketiga, terjadi perubahan intensitas musim, seperti yang terjadi di beberapa negara yang mengalami musim panas yang berubah menjadi heatwave, di negara-negara yang mengalami musim dingin terjadinya freezing winter yang dinginnya melebihi batas normal. Disrupsi siklus musim alami ini juga akan berpengaruh pada aspek kehidupan manusia, seperti terganggunya produksi pangan, gangguan kesehatan, dan hilangnya spesies kunci yang berperan bagi kehidupan manusia, seperti berkurangnya jumlah serangga atau misalnya lebah sebagai penyerbuk alami di banyak tanaman pangan utama yang penting bagi manusia. Ditambah lagi, habitat alami yang berperan bagi kehidupan manusia juga terancam terganggu, yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi pusat nursery bagi ikan-ikan di laut. Disrupsi musim ini akan berujung pada kerugian ekonomi yang sudah kita rasakan saat ini serta generasi anak cucu kita akan merasakan penurunan kualitas hidup nantinya.

Data dari IPCC tahun 2021 menyampaikan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan suhu rata-rata pada tahun 1900. Jika  dilihat pada siklus alaminya, suhu rata-rata akan mengalami penurunan pada suatu titik. Ketika sudah naik dan peningkatannya melebihi peningkatan sebelumnya, maka penurunan yang terjadi tidak akan mampu untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. IPCC juga menyampaikan bahwa kita yang hidup saat ini akan merasakan sebagian kecil dari efek global warming, sedangkan sebagian besar lainnya diprediksi baru akan dirasakan oleh generasi anak dan cucu kita, khususnya bagi yang baru lahir pada tahun 2020 apabila tidak ada kemauan dan aksi nyata yang kita lakukan untuk mengurangi emisi yang telag kita hasilkan. Jika kita membagi jumlah emisi per negara dan perbenua, maka emisi GRK terbesar dihasilkan oleh China dan Amerika yang kurang lebih menghasilkan 40% dari total emisi global. Disusul dengan India, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa, sedangkan Afrika yang notabenya memiliki luas benua cukup besar hanya berkontribusi sebanyak 3% dari emisi global. Berbeda hasilnya jika kita membagi emisi tersebut dengan jumlah penduduk menjadi emisi GRK perkapita, jumlah emisi Cina akan menurun drastis karena jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa sedangkan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit namun emisinya cenderung tinggi seperti Qatar, Singapura, Brunei akan menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Cina.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang menjadi alasan atas terinisiasinya perdagangan karbon di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?