Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Monitoring emisi dapat dilakukan dengan dua metode utama yaitu manual dan otomatis. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga penting untuk memahami strategi monitoring emisi yang efektif dan efisien. Bagaimana sebenarnya industri memantau emisi yang mereka hasilkan dengan kedua metode tersebut?

Metode Manual

Metode manual dalam pemantauan emisi melibatkan penggunaan alat-alat yang lebih sederhana dan fleksibel. Salah satu contoh metode manual adalah sampling isokinetik, yang digunakan untuk mengukur konsentrasi partikulat dalam cerobong. Alat-alat yang digunakan dalam metode manual harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dan dilakukan oleh laboratorium yang sudah memiliki identitas registrasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam hal ini, pelaku harus memiliki sertifikat yang menunjukkan kualifikasi dan keahlian dalam melakukan pengukuran emisi. Begitu pula di laboratorium, orang yang melakukan pemeriksaan harus bersertifikasi. Proses monitoring emisi ini harus dilakukan dengan sangat ketat dan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan.

SNI dalam Pemantauan Emisi

SNI menjadi landasan utama dalam setiap prosedur monitoring. Untuk sumber tidak bergerak, terdapat 31 SNI yang berkaitan dengan pemantauan emisi. Sedangkan untuk sumber bergerak, jumlahnya lebih sedikit, yaitu 4 SNI. Begitu juga untuk udara ambien, terdapat 27 SNI yang memberikan pedoman terkait pemantauan kualitas udara.

Peraturan dan Pedoman Teknis dalam Pengelolaan Emisi

Regulasi terkait pengelolaan emisi di industri mengatur berbagai aspek, mulai dari penanggung jawab di industri hingga pelaksanaan pemantauan. Setiap entitas yang terlibat dalam manajemen emisi, termasuk pelaporan dan perencanaan, harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mengacu pada SNI yang berlaku.

Pentingnya SNI juga tercermin dalam pengulangan standar yang diterapkan pada sumber tidak bergerak. Terdapat pula SNI yang mengacu pada metode Amerika (EPA). Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dapat ditemukan dalam Kepmen LH No 205/1996, yang mencakup pengaturan cerobong, lubang sampling, sarana pendukung, dan unit pengendalian.

Metode Manual vs. Otomatis: Penggunaan CEMS

Pemantauan emisi dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Cara otomatis melibatkan penggunaan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS). Sepuluh industri diwajibkan menggunakan CEMS, yang dipasang secara permanen pada cerobong. CEMS memonitor berbagai gas dan mengirimkan hasilnya ke kantor melalui data logger.

Industri yang diwajibkan menggunakan CEMS melibatkan sektor peleburan besi dan baja, kertas, rayon, carbon black, minyak dan gas bumi, pertambangan, pengolahan sampah secara termal, semen, pembangkit listrik tenaga termal, dan pupuk dan ammonium nitrat. Meskipun CEMS memiliki tingkat akurasi tinggi, penggunaannya memerlukan investasi yang cukup besar, dengan harga di atas 1 miliar.

Pengembangan CEMS Sensor

Saat ini, CEMS masih mengandalkan Analyzer dan belum menggunakan Sensor. Namun, pengembangan CEMS Sensor sedang dalam tahap pengembangan oleh pihak regulator. Meskipun demikian, implementasi Sensor dalam CEMS masih memerlukan perhatian lebih lanjut dan belum menjadi standar.

Metode Manual: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Dalam metode manual, pemantauan emisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik. Isokinetik menjadi pilihan ketika pemantauan melibatkan emisi partikulat, isokinetik bertujuan untuk mengambil sampel yang representatif dengan mengantisipasi akumulasi partikulat di sisi cerobong.

Isokinetik melibatkan penggunaan alat Pitot Manometer untuk mengukur kecepatan gas. Tingkat toleransi isokinetik adalah 90-110%, yang dianggap sebagai tingkat kecepatan yang sesuai. Proses ini tergantung pada ukuran cerobong dan jumlah sampel yang diambil.

Dalam melakukan monitoring emisi di industri, penggunaan metode manual dan otomatis memegang peran penting. Metode manual melibatkan pemahaman mendalam terhadap berbagai SNI yang berlaku dan penerapan prosedur yang ketat. Di sisi lain, penggunaan CEMS dalam metode otomatis memberikan keakuratan tinggi, namun dengan biaya yang signifikan.

Perkembangan CEMS Sensor menjadi hal yang menarik untuk dipantau, namun saat ini belum menjadi standar. Dengan pengaturan yang ketat, baik manual maupun otomatis dapat memberikan data yang akurat, mendukung upaya pengelolaan emisi yang berkelanjutan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Menentukan Titik Pemantauan Emisi Cerobong Industri

Menentukan Titik Pemantauan Emisi Cerobong Industri

Pertanyaan yang sering muncul di dunia industri adalah bagaimana cara menentukan titik pemantauan emisi cerobong yang ideal. Proses ini menjadi krusial untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan menjaga kualitas udara. Artikel ini akan membahas langkah-langkah praktis serta aturan yang berlaku dalam menentukan titik pemantauan emisi cerobong industri.

 

Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai Panduan Utama

Dalam konteks pemantauan emisi cerobong industri, Standar Nasional Indonesia (SNI) menjadi panduan utama yang harus diperhatikan. SNI berperan sebagai peraturan teknis yang mengatur tentang pengukuran, penganalisis, dan pengaturan kadar suatu parameter, serta memberikan data pengukuran emisi secara tepat. Salah satu persyaratan umum yang diterapkan adalah adanya lantai kerja pada cerobong dengan lebar minimal satu meter. Hal ini penting untuk memberikan aksesibilitas dan keamanan saat melakukan pemantauan.

 

Konsep 2D dan 8D

Penempatan lubang sampling pada cerobong menjadi langkah selanjutnya yang harus diperhatikan. Konsep 2D dan 8D menjadi landasan prinsip untuk menentukan titik pemantauan. Dari bagian bawah cerobong, diukur jarak tanpa gangguan sampai tinggi 8D. Dari ujung atas, diukur jarak 2D. Area di antara 2D dan 8D dianggap sebagai zona aman untuk pengambilan sampel, dan titik ini bisa dianggap sebagai “Bank Sampling”.

 

Penilaian Titik Pemantauan

Idealnya, semua cerobong di sebuah industri seharusnya dipantau untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang emisi yang dihasilkan. Regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengharuskan pemantauan pada setiap cerobong, terutama di pabrik otomotif yang sering memiliki ratusan cerobong. Titik pemantauan dianggap sebagai penilaian, dan kebijakan pemantauan semua cerobong adalah hal yang diinginkan.

 

Diskusi dengan KLHK dan DLH

Langkah selanjutnya adalah melakukan diskusi dengan pihak berwenang, seperti KLHK dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), terutama jika kondisi lapangan tidak memenuhi syarat 2D 8D. Diskusi ini penting untuk menemukan solusi yang sesuai dengan kondisi spesifik industri. KLHK menegaskan bahwa semua cerobong seharusnya dipantau, namun solusi teknis perlu dibahas bersama DLH setempat.

 

Solusi Teknis Kondisi Tidak Memenuhi Syarat 2D 8D

Jika kondisi lapangan tidak memenuhi syarat 2D 8D, solusi teknis menjadi fokus berikutnya. Dalam beberapa kasus, cerobong mungkin perlu ditambah atau ditinggikan untuk memenuhi ketentuan tersebut. Solusi teknis seperti ini memerlukan diskusi dengan DLH setempat untuk menemukan solusi yang efektif dan sesuai dengan aturan.

 

Menentukan titik pemantauan emisi cerobong industri melibatkan pemahaman mendalam terhadap regulasi, seperti SNI dan aturan KLHK. Konsep 2D dan 8D menjadi landasan prinsip dalam menentukan zona aman pengambilan sampel, dan idealnya, semua cerobong harus dipantau. Diskusi dengan KLHK dan DLH menjadi langkah penting jika kondisi lapangan tidak memenuhi syarat aturan. Solusi teknis, seperti penambahan atau peninggian cerobong, perlu dibahas untuk menciptakan kebijakan pemantauan emisi yang efektif dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dengan langkah-langkah ini, industri dapat memastikan bahwa pemantauan emisi cerobong dilakukan secara optimal dan sesuai dengan standar lingkungan yang berlaku.

 

Teknik Sampling dalam Pemantauan Emisi

Teknik Sampling dalam Pemantauan Emisi

Dalam upaya menjaga kualitas udara dan mengelola emisi industri, pemantauan yang akurat dan representatif menjadi kunci. Salah satu aspek yang sering menjadi fokus perhatian adalah metode sampling yang digunakan. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang teknik sampling, dengan penekanan pada kriteria lubang sampling, penggunaan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS), dan standar yang berlaku dalam melakukan sampling.

Melakukan Sampling

Pertanyaan yang sering muncul dalam konteks pemantauan emisi adalah, “Bagaimana kita melakukan sampling?” Sampling yang tepat dengan langkah krusial dalam mendapatkan data yang akurat dan dapat diandalkan. Untuk itu, ada beberapa kriteria dan standar perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mencerminkan kondisi sebenarnya dari emisi industri.

Pertama-tama, perlu diperhatikan persiapan lapangan kerja yang mencakup lantai kerja, lubang sampling, dan pengait untuk menyimpan alat sampling. Kriteria 2D dan 8D digunakan sebagai pedoman dalam menentukan lokasi pengambilan sampel. Jika terdapat gangguan, seperti belokan pada cerobong, maka perhitungan dilakukan sebanyak 8 kali diameter (8D). Contoh, jika diameter cerobong 1 meter, maka jarak aman pengambilan sampel adalah 8 meter.

Jika cerobong memiliki bentuk persegi, rumus diameter ekuivalen digunakan untuk menentukan jarak aman. Dari ujung cerobong, diambil 2D untuk menghindari gangguan di atas cerobong, dan 8D untuk mengakomodasi gangguan di bawah cerobong. Dengan cara ini, area di antara dua titik tersebut dianggap sebagai area aman untuk pengambilan sampel.

Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS)

Continuous Emission Monitoring Systems atau CEMS merupakan sistem pemantauan emisi yang bersifat permanen dan memiliki standar tersendiri untuk melakukan sampling. Prinsip isokinetik menjadi dasar dalam teknik sampling CEMS. CEMS melakukan sampling secara keseluruhan untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akurat dan sesuai dengan standar yang berlaku.

Alat dari CEMS terpasang secara permanen pada cerobong, memastikan bahwa sampling dilakukan dengan konsistensi yang tinggi. Dalam pengaturan CEMS, pengambilan sampel terjadi di berbagai titik untuk mencakup seluruh area keluaran cerobong. Gambaran visual dapat dilihat pada diagram CEMS yang mencakup perangkat keras dan sistem pengambilan sampel.

Selain metode otomatis seperti CEMS, pemantauan emisi juga dapat dilakukan secara manual. Dalam hal ini, teknik sampling menjadi langkah yang harus diikuti dengan teliti. Lokasi pengambilan sampel harus dipilih dengan memperhatikan kriteria 2D dan 8D untuk memastikan representativitas sampel.

Standar yang Berlaku

Pentingnya sampling tidak hanya terletak pada tekniknya, tetapi juga pada kepatuhan terhadap standar yang berlaku. Standar ini mencakup prosedur-prosedur yang harus diikuti dalam melakukan sampling, penggunaan alat ukur yang sesuai, dan pemilihan lokasi pengambilan sampel yang representatif.

CEMS, sebagai metode pemantauan emisi yang canggih, memiliki standar tersendiri untuk menjamin akurasi dan konsistensi hasil pengukuran. Pemantauan manual juga harus mematuhi standar dan pedoman yang berlaku untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan dapat diandalkan dan sesuai dengan regulasi lingkungan.

Pemantauan emisi terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Salah satu perkembangan terbaru adalah pengembangan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS) Sensor. Meskipun belum menjadi standar, CEMS Sensor menjanjikan kemungkinan untuk memperluas kemampuan pemantauan emisi dengan penggunaan sensor yang lebih canggih.

Namun, tantangan yang dihadapi dalam mengadopsi teknologi ini melibatkan uji validitas dan keakuratan sensor, serta perluasan regulasi terkait penggunaan sensor dalam CEMS. Saat ini, teknologi sensor masih dalam tahap pengembangan, dan perlu penelitian lebih lanjut sebelum diimplementasikan sebagai standar.

Teknik sampling dalam pemantauan emisi menjadi unsur kunci dalam memastikan data yang dihasilkan mencerminkan kondisi sebenarnya dari sumber emisi. Mulai dari kriteria lubang sampling, penggunaan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS), hingga standar pemantauan dan sampling, semuanya menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas hasil pengukuran.

Perkembangan teknologi, seperti CEMS Sensor, memberikan harapan untuk meningkatkan kemampuan pemantauan emisi di masa depan. Namun, seiring dengan itu, tantangan dan uji validitas teknologi baru juga perlu ditempuh. Dengan mengikuti standar dan pedoman yang berlaku, industri dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan dengan pengelolaan emisi yang akurat dan berkelanjutan.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?