Standar Emisi PLTU Batubara di Indonesia

Isu lingkungan hidup semakin menjadi perhatian utama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu sumber polusi udara yang menjadi sorotan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Sebagai negara yang masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi utama, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan energi dengan perlindungan lingkungan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Peraturan ini bertujuan untuk mengendalikan emisi dari pembangkit listrik tenaga termal yang termasuk di dalamnya yaitu PLTU batubara, yang menghasilkan polutan seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat (PM). Namun, apakah peraturan ini sudah cukup efektif? Mari kita telaah lebih lanjut.

Emisi

Baku Mutu Emisi PLTU Berbeda?

Permen LHK No. P.15/2019 menetapkan ambang batas emisi SO2, NOx, dan PM yang boleh dikeluarkan oleh PLTU batubara. Yang menarik, peraturan ini membedakan PLTU menjadi dua kategori:

  1. PLTU yang sudah beroperasi sebelum peraturan ini berlaku: Kategori ini mendapatkan standar emisi yang lebih longgar.
  2. PLTU yang mulai beroperasi setelah peraturan ini berlaku: Kategori ini harus memenuhi standar emisi yang lebih ketat.

Perbedaan tersebut menurut pemerintah, mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomi. PLTU yang sudah lama beroperasi dianggap lebih sulit dan memerlukan biaya besar untuk menyesuaikan diri dengan standar yang lebih ketat.

Mengapa Standar Emisi PLTU yang Ada Perlu Ditinjau Ulang?

Meskipun Permen LHK No. P.15/2019 merupakan sebuah langkah maju, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan (yang notabene merupakan investor utama PLTU batubara di Indonesia), standar emisi kita masih jauh lebih rendah. Sebagai contoh, untuk SO2, standar emisi PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia bisa mencapai 15 kali lebih rendah daripada standar di Tiongkok. Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa negara-negara investor tersebut menerapkan standar yang berbeda di negara asal mereka dan di Indonesia?

Lensa Lingkungan  Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Mayoritas PLTU batubara di Indonesia (sekitar 75%) termasuk dalam kategori yang sudah beroperasi sebelum peraturan ini berlaku. Ini berarti sebagian besar PLTU masih beroperasi dengan standar emisi yang longgar. Akibatnya, perbaikan kualitas udara yang diharapkan dari peraturan ini menjadi sangat terbatas.

Definisi “dibangun” dalam peraturan ini ternyata menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Apakah “dibangun” berarti saat perjanjian jual beli listrik ditandatangani? Atau saat izin lingkungan diperoleh? Atau saat konstruksi fisik dimulai? Perbedaan interpretasi ini sangat penting, karena akan menentukan berapa banyak PLTU yang masuk kategori standar longgar dan berapa banyak yang masuk kategori standar lebih ketat.

Peraturan ini juga dinilai kurang dalam hal transparansi data emisi dan mekanisme penegakan hukum. Masyarakat perlu mengetahui seberapa besar emisi yang dihasilkan oleh masing-masing PLTU dan bagaimana pemerintah memastikan kepatuhan terhadap peraturan.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Menghadapi persoalan emisi dari PLTU batubara ini, kita perlu langkah-langkah nyata dan terarah. Yang paling utama adalah soal keterbukaan data. Pemerintah harus membuka pintu informasi selebar-lebarnya agar publik bisa ikut mengawasi data emisi dari semua PLTU batubara di Indonesia. Ini bukan sekadar soal pengawasan, tapi juga soal tanggung jawab pemerintah dalam mengelola masalah lingkungan.

Berikutnya, yang tak kalah penting adalah meninjau ulang standar emisi yang ada. Standar yang sekarang berlaku, terutama untuk PLTU yang “lebih tua” (yang beroperasi sebelum aturan baru keluar), rasanya masih terlalu longgar. Jadi, perlu dikaji lagi dan diperketat. Nah, dalam proses ini, pemerintah sebaiknya mengajak organisasi-organisasi masyarakat dan lembaga independen yang memang ahli dan peduli soal lingkungan.

Kita perlu melihat jauh ke depan, yaitu soal transisi energi. Ketergantungan kita pada batubara memang harus mulai dikurangi pelan-pelan. Kita perlu beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya, angin, air, atau panas bumi. Ini bukan hanya ikut-ikutan tren dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, tapi juga demi kesehatan kita dan kelestarian lingkungan. Bahkan, laporan terbaru dari badan PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menyarankan agar sebagian besar PLTU batubara sebaiknya sudah dimatikan sebelum 2030.

Lensa Lingkungan  Jasa Penyusunan Laporan Pemantauan Lingkungan Sektor Industri Margarine

Selain itu pemerintah harus dapat memperjelas definisi dari kata “dibangun” pada aturan yang berlaku. Ini agar tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam menafsirkan aturan yang sudah dibuat, dan tidak ada pihak yang saling menyalahkan. Yang terakhir, dan sangat penting, adalah soal penegakan aturan. Pemerintah harus memastikan semua aturan yang sudah dibuat, termasuk soal emisi PLTU ini, benar-benar dijalankan.

Peraturan Menteri LHK No. P.15/2019 tentang Baku Mutu Emisi PLTU Batubara adalah langkah awal yang baik, tetapi masih jauh dari cukup. Standar emisi yang longgar, terutama untuk PLTU yang sudah beroperasi, serta perbedaan interpretasi terhadap peraturan, membuat dampak perbaikan kualitas udara menjadi sangat terbatas.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?