Mengupas Sistem Registri Nasional (SRN) dan Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) sebagai Aspek Penting dalam Nilai Ekonomi Karbon (NEK)

Mengupas Sistem Registri Nasional (SRN) dan Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) sebagai Aspek Penting dalam Nilai Ekonomi Karbon (NEK)

Dalam project mitigasi, jika sudah dilakukan validasi dengan skema lain, tetap harus dilakukan validasi lagi melalui Sistem Registri Nasional (SRN). Sebagai contoh PT X, mereka memiliki suatu project, project tersebut sudah dilakukan validasi oleh skema lain (misal skema Gold Standard), apakah saat mendaftar SRN harus dilakukan validasi lagi?

Secara prinsip, dengan mengacu pada Perpres No. 98 Th. 2021 dan Permen LHK No. 21 Th. 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, setiap aksi mitigasi nilai ekonomi karbon, dan sumber daya wajib mendaftarkan diri kepada SRN. Dengan melakukan tahapan demi tahapan, yaitu mulai DRAM, kemudian perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta validasi dan verifikasi. Bagi suatu nilai ekonomi karbon yang sudah dilakukan validasi dan verifikasi di luar sistem SRN, pada saat harus memasukkan dan mendaftar kepada SRN, selanjutnya akan dilihat oleh tim verifikator dan validator di internal DJPPI, selanjutnya dilakukan pengecekan kesesuaian metodologi dan hal lainnya yang sudah divalidasi dan diverifikasi oleh lembaga selain kesesuaiannya dalam mengacu pada ketentuan standar internasional yang berlaku, yang diakui di dalam Permen LHK No. 21 Th. 2022. Hal ini berarti apabila memang tidak diakui maka akan dilakukan proses validasi dan verifikasi kembali, alasannya adalah karena tidak semua lembaga verifikasi atau validasi di luar SRN itu merujuk menggunakan metodologi yang dirujuk secara internasional, yaitu di IPCC Guidelines. Hal tersebut menyebabkan proses harus dilihat kembali, dilihat kesesuaian metodologi yang digunakan dengan rujukan yaitu Perpres No. 98 Th. 2021 dan Permen LHK No. 21 Th. 2022. Kegiatan ini tentu saja membutuhkan waktu dan biaya, namun ini sudah menjadi konsekuensi dari transformasi rezim Kyoto Protocol dengan Paris Agreement.

Selanjutnya mengenai Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) GRK, siapakah yang memproses? KLHK atau lembaga verifikator?


Semua proses mengenai Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) GRK yang dilakukan dalam SRN PPI, pihak yang menerbitkan secara official dan resmi adalah KLHK, dimana KLHK sebagai National Focal Point memiliki tanggung jawab untuk Nilai Ekonomi Karbon. SPE ini diterbitkan oleh Menteri LHK apabila proponent dan aksi mitigasinya sudah terverifikasi. Apabila pihak pemohon mengikuti perdagangan karbon, verifikator harus independen, maksudnya harus dicermati apakah offset atau perdagangan emisi. Dalam hal ini, verifikator hanya memberikan hasil, memberikan laporan hasil verifikasi saja kepada KLHK, yang selanjutnya penerbitan sertifikat dilakukan oleh KLHK.


Perusahaan Anda ingin memulai perjalanan dalam carbon credit, kontak kami bagaimana kami dapat membantu Anda.

Strategi Penurunan Emisi GRK dari Scope 3

Strategi Penurunan Emisi GRK dari Scope 3

Penting untuk menyadari bahwa emisi Scope 3 seringkali menjadi sumber emisi gas rumah kaca terbesar dari banyak perusahaan. Akan tetapi, emisi Scope 3 masih menjadi fokus terendah dari upaya penurunan emisi. Upaya untuk menurunkan emisi Scope 3 akan memberikan dampak yang signifikan dalam upaya penanganan perubahan iklim.

Memahami emisi Scope 3

Sebelum menyusun strategi penurunan emisi Scope 3, perusahaan harus terlebih dahulu menghitung dan memahami kategori emisi Scope 3 mana yang paling relevan dalam rantai nilai perusahaan. Greenhouse Gas Protocol (GHG Protocol) menyediakan panduan untuk pengukuran emisi Scope 3 yang terdapat pada “Corporate Value Chain (Scope 3) Accounting and Reporting Standard” serta “Technical Guidance for Calculating Scope 3 Emissions”. Panduan tersebut membantu perusahaan menjaga konsistensi pengukuran emisi Scope 3.

Pengukuran emisi Scope 3 membantu perusahaan untuk memahami dimana sumber emisi tertinggi dalam rantai nilai. Dengan pemahaman ini, perusahaan dapat menyusun prioritas, menentukan target pengurangan, menyusun rencana penurunan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, dan pada akhirnya mengukur keberhasilan dari rencana pengurangan dan pencapaian target.

Menetapkan target reduksi

Pendekatan paling tepat untuk merancang strategi penurunan emisi Scope 3 adalah dengan menetapkan target penurunan. Berdasarkan Science-Based Target initiative, target dapat diekspresikan sebagai target absolut yaitu ketika perusahaan menetapkan target penurunan emisi Scope 3 dalam jangka waktu tertentu, misal penurunan emisi sebesar 30% pada tahun 2030 sejak perhitungan tahun dasar (base year) 2018. Selain target absolut, perusahaan juga dapat menetapkan target intensitas dimana perusahaan menetapkan target penurunan emisi Scope 3 berdasarkan aktivitas atau nilai ekonomi yang diukur dalam jangka waktu tertentu, misal penuruan emisi produksi baja dalam satuan CO2e/ton baja sebesar 30% pada tahun 2030 sejak emisi yang dihasilkan dari produksi baja pada tahun dasar (base year) 2018.

Strategi reduksi untuk tiap kategori

Upaya penurunan emisi Scope 3 tidak selalu mudah bagi beberapa perusahaan. Hal tersebut karena emisi Scope 3 berada di luar kendali perusahaan yang melbatkan berbagai pihak ketiga sehingga kemampuan perusahaan untuk mengendalikan emisi Scope 3 cukup terbatas. Berikut adalah beberapa contoh tindakan yang bisa diterapkan untuk mengurangi emisi Scope 3.

Inventarisasi Gas Rumah Kaca: Pedoman Umum dan Pelaporan

Inventarisasi Gas Rumah Kaca: Pedoman Umum dan Pelaporan

Indonesia telah menyepakati pedoman yang digunakan untuk penyusunan Inventarisasi Gas Rumah Kaca adalah Revised 1996 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Semua pedoman IPCC untuk inventarisasi Gas Rumah Kaca pun dapat diakses secara bebas melalui situs Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas … . Dalam IPCC Guidelines ini mencakup juga metode umum perhitungan emisi dan serapan GRK yang secara lengkap adalah sebagai berikut:

  1. Persamaan Umum Perhitungan Emisi GRK

Persamaan yang digunakan untuk perhitungan emisi GRK secara umum dapat ditulis sebagai berikut:

Emisi/Penyerapan GRK = AD x EF

Ket:

AD = data aktivitas yaitu data kegiatan pembangunan atau aktivitas manusia yang menghasilkan emisi atau serapan GRK

EF = faktor emisi atau serapan GRK yang menunjukkan besarnya emisi/serapan per satuan unit kegiatan yang dilakukan

Contoh dari penggunaan emisi ini adalah misal dalam kegiatan pertanian untuk memproduksi padi (satuan hektar) yang dilakukan selama satu tahun. Apabila  dari hasil pengukuran emisi metan di lahan sawah memiliki faktor emisi sebesar 10 Gg CH4 er hektar per tahun, maka apabila di tahun 2012 dilaporkan luar kegiatan penanaman padi adalah seluas 100 ha. Maka besarnya emisi metan tahun 2012 adalah sebesar 100 x 10 = 1000 Gg CH4 

Data Aktivitas

Data aktivitas yang dimaksud disini adalah semua data kegiatan yang menghasilkan emisi. Untuk menghasilkan inventarisasi GRK yang baik, maka pemerintah harus segera mengembangkan mekanisme kelembagaan dalam pengumpulan data aktivitas yang diperlukan untuk menghitung emisi dan serapan GRK.

→ Faktor Emisi

Sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan IPCC, setiap negara didorong untuk menyusun faktor emisi lokal. Namun karena ketersediaan faktor emisi lokal yang sangat terbatas dan hanya tersedia pada beberapa kategori saja, oleh sebab itu beberapa data perhitungan emisi dan serapan GRK belum maksimal pelaporannya.

  1. Pemilihan Metodologi Inventarisasi GRK Menurut Tingkat Ketelitian (Tier)

Kedalaman metode yang digunakan dalam Inventarisasi GRK berpengaruh dalam perhitungan inventarisasi GRK. Semakin tinggi kedalaman metode yang digunakan, maka inventarisasi GRK yang dihasilkan semakin rinci dan akurat. Terkadang dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK pada suatu daerah tidak menggunakan Tier yang tinggi karena masalah keterbatasan data dan sumber daya, tetapi bisa menggunakan Tier yang paling rendah.

Secara umum, tingkat ketelitian (Tier) dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK dibagi menjadi tiga, yaitu:

  • Tier 1: 

Perhitungan emisi dan serapan menggunakan persamaan dasar (basic equation) dan faktor emisi default atau IPCC default values

  • Tier 2:

Perhitungan emisi dan serapan yang menggunakan persamaan lebih rinci, contohnya adalah menggunakan persamaan reaksi atau neraca material dan menggunakan faktor emisi yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung.

  • Tier 3:

Perhitungan emisi dan serapan yang menggunakan metode ini, merupakan metode yang paling rinci dan lengkap. Artinya yaitu dengan pendekatan modeling dan sampling. Dengan menggunakan pemodelan faktor emisi lokal dapat divariasikan sesuai dengan keberagaman kondisi yang ada di suatu daerah.

  1. Pengarsipan Data dan Informasi dalam Penyelenggaraan Inventarisasi GRK

Pengarsipan data dan informasi yang digunakan dalam inventarisasi GRK harus dilakukan untuk semua kategori. Sebagaimana dalam prinsip pelaporan dalam GRK pengembangan sistem pengarsipan data dan informasi merupakan bagian penting dari proses penyelenggaraan inventarisasi GRK, alasannya adalah untuk menjamin transparansi, dan merupakan bagian dari sistem penjamin dan pengendalian mutu. Data dan informasi yang harus terdokumentasi dengan baik dalam Inventarisasi GRK diantaranya adalah:

  1. Deskripsi singkat semua kategori dan sub-kategori, mengenai apa saja yang perlu dilakukan perhitungan emisi gas rumah kaca
  2. Deskripsi singkat tentang metodologi yang digunakan dalam perhitungan emisi dan serapan dari setiap kategori, serta dijelaskan mengapa metode tersebut dipilih
  3. Seluruh data aktivitas yang digunakan yang disertai dengan informasi tahun, satuan yang digunakan dan faktor konversi satuan. Dilengkapi dengan sumber dimana data aktivitas diperoleh beserta alamatnya, deskripsi singkat pelaksanaan penjaminan dan pengendalian mutu yang dilakukan oleh lembaga pengumpul data aktivitas, dan sumber data yang dijadikan rujukan untuk pengecekan data
  4. Faktor emisi yang digunakan serta nilai dan sumber dimana nilai ini diperoleh. Deskripsi singkat pelaksanaan penjaminan dan pengendalian mutu, serta penjelasan singkat alasan faktor emisi tersebut sesuai dengan kondisi nasional atau daerah.
  5. Rencana perbaikan

Inventarisasi Gas Rumah Kaca: Report di Indonesia dan Report secara Global

Pelaporan sustainability untuk Inventarisasi GHG di Indonesia tercantum dalam PermenLHK No. 73 Tahun 2017 tentang Pedoman Inventarisasi dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) dalam jurnalnya tahun 2020 terbaru pun telah mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia berupaya secara kontinyu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan target yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). NDC ini merupakan perwujudan dari upaya setiap negara untuk mengurangi emisi nasional dan beradaptasi dengan adanya dampak perubahan iklim. 

Pelaporan yang sudah tercantum dalam kedua peraturan diatas sudah disesuaikan dengan pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca secara global yang ditulis dalam IPCC tahun 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Di dalam IPCC terbagi menjadi 5 bagian:

  1. Volume 1 General Guidance and Reporting 
  2. Volume 2 Energy
  3. Volume 3 Industrial Processes and Product Use
  4. Volume 4 Agriculture, Forestry, and Other Land Use
  5. Volume 5 Waste

notes: atau dapat dilihat dalam link berikut https://www.dropbox.com/scl/fo/ozlnt6z1qn4oqy9k1ot92/h?rlkey=3fl1yz1oftb6l2i52mfivqr72&dl=0 

Sama halnya dalam Buku Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2012, terdapat 5 buku yang digunakan sebagai dasar dalam menyusun laporan inventarisasi gas rumah kaca, 5 bagian tersebut kurang lebih sama dengan 5 bagian dalam IPCC, yaitu sebagai berikut:

  1. Buku I Pedoman Umum 
  2. Buku II Volume 1 Pengadaan dan Penggunaan Energi
  3. Buku II Volume 2 Proses Industri dan Penggunaan Produk
  4. Buku II Volume 3 Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lainnya
  5. Buku II Volume 4 Pengelolaan Limbah

notes: atau dapat dilihat dalam link berikut https://www.dropbox.com/scl/fo/ss82m89yoxa2rai6sxdh7/h?rlkey=97n5wwfroh2jia43nvxk2jb1f&dl=0 

Secara garis besar pedoman pelaporan inventarisasi gas rumah kaca di Indonesia menggunakan pedoman IPCC 2006 yang ditulis kembali dalam versi bahasa Indonesia dalam bentuk Buku Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2012. Dalam dua pedoman ini menjelaskan tentang bagaimana menghitung jumlah emisi yang dihasilkan. Untuk pelaporan inventarisasi GRK tercantum dalam Peraturan Presiden RI No, 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Inventarisasi GRK dilakukan dengan cara:

  • Melakukan pemantauan dan pengumpulan data aktivitas sumber emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon, serta penetapan faktor emisi dan faktor serapan GRK
  • Melakukan perhitungan dan serapan GRK termasuk simpanan karbon
  • Kemudian hasil perhitungan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon dilaporkan dalam bentuk tingkat dan status emisi GRK

notes: atau dapat dilihat dalam link berikut https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/41187/perpres-no-71-tahun-2011

Tujuan dilakukannya pelaporan ini adalah:

  • sebagai informasi secara berkala mengenai tingkat, status, serta kecenderungan perubahan emisi di tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten
  • sebagai informasi pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan mitigasi yang dilakukan setelah dilakukannya inventarisasi
NET ZERO EMISSION

NET ZERO EMISSION

Perubahan iklim yang sangat ekstrim dapat mengakibatkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan perubahan variabilitas iklim alamiah dari kurun waktu yang dapat dibandingkan. Ini disebabkan karena aktivitas manusia yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merubah iklim. Yang dimana perubahan iklim ini selanjutnya akan berhubungan juga dengan emisi Gas Rumah Kaca. Sehingga, banyak saat ini industri-industri di Indonesia yang mulai untuk mencoba mencatat jumlah emisi yang mereka keluarkan dengan melakukan kajian inventarisasi gas rumah kaca.

Sedangkan, Apa yang dimaksud dengan Net Zero Emission?

Net Zero Emission merupakan kondisi ketika jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Gaungnya kampanye Net Zero Emission adalah setelah diadakannya Paris Climate Agreement pada tahun 2015 (https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement ). Tujuan adanya program ini adalah untuk menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya pemanasan global.

Poin penting disini, dikutip dari Kementerian ESDM Repbulik Indonesia, sektor energi menjadi salah satu faktor tertinggi penyumbang emisi gas rumah kaca dan direncanakan dalam Upaya program NZE. Sehingga, untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah Indonesia mulai melakukan pemanfataan energi terbarukan untuk memitigasi adanya perubahan iklim akibat pencemaran lingkungan terutama yang dilepaskan di atmosfer.

Tidak hanya itu secara aktual, hutan Indonesia sebenarnya juga mampu untuk mengurangi emisi dan berpotensi menyerap emisi CO2 sebayak 50-100 ton. Sehingga, alangkah baiknya apabila kita sebagai generasi penerus bertangungg jawab untuk menjaga hutan dan lingkungan sekitar kita.

Dikuatkan lagi dengan pernyataan Menteri Keunagan, Sri Mulyani bahwa untuk Indonesia yang mencapai target Net Zero Emission, Indonesia harus terus melakukan komitmen dengan cara terus mengkomunikasikan dan menjanjikan bahwa CO2 akan dikurangi melalui National Determined Contributin (NDC). NDC merupakan dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nation Framework Convention on Climate Change. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga telah memfasilitasi dengan meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platrform yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur Special Mission Vehicle Kementerian Keuangan. Platform ini nantinya digunakan untuk mengembangkan kerangka pembiayaan dan investasi melalui kerja sama dengan banyak mitra institusi baik domestik maupun internasional

PRINSIP DASAR KAJIAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA

PRINSIP DASAR KAJIAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA

Dalam penulisan atau analisis Kajian Inventarisasi emisi gas rumah kaca, dasar yang digunakan sebagian besar para ilmuan dan pengamat lingkungan adalah Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) 2006, yang dapat diakses di link berikut https://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/support/Primer_2006GLs.pdf , sedangkan di Indonesia pembahasan mengenai ini didasarkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2012. IPCC ini dibuat untuk memberikan penilaian ilmiah rutin kepada pembuat kebijakan tentang perubahan iklim, implikasinya, dan potensi risiko di masa depan, serta untuk mengedapkan opsi adaptasi dan mitigasi. Dalam pedoman yang dikeluarkan IPCC berisi data faktor emisi dan formulasi perhitungan emisi.

Secara umum sektor penting yang dihitung dalam Kajian Inventorisasi Gas Rumah Kaca, adalah Sektor Energi, Sektor Limbah, Sektor IPPU (Industrial  Processes and Product), dan Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU). Di dalam IPCC 2006 dijelaskan bahwa masing-masing sektor terdiri dari beberapa kategori yang merupakan faktor penyebabnya.

Kajian Analisis Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang berkualitas dan siap untuk diverifikasi, tentunya memiliki 5 prinsip dasar yang harus dipenuhi. Ini dijelaskan dalam Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca KemenLHK tahun 2012 dalam Buku 1 Pedoman Umum. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

  • Transparansi (Transparency)

Dokumen yang dibuat dalam kajian inventarisasi gas rumah kaca dan sumber data yang digunakan harus tersimpan dan terdokumentasikan dengan baik. Alasannya adalah agar orang yang tidak terlibat dalam pembuatan dan penyelenggaraan Inventarisasi GRK dapat memahami hasil dari kajian ini.             

Dalam hal ini baik itu data faktor emisi, asumsi yang digunakan untuk menduga data aktivitas, serta referensi yang digunakan pun juga harus tercatat dan disampaikan secara transparan.

  • Akurasi (Accuracy)

Perhitungan yang dilakukan dalam kajian Inventarisasi Gas Rumah Kaca pun harus dilakukan secara teliti dan akurat. Semua dugaan emisi atau serapan GRK harus diupayakan tidak menghasilkan dugaan emisi yang terlalu tinggi (over estimate) atau terlalu rendah (under estimate).

  • Konsistensi (C0nsistency)

Semua estimasi emisi dan serapan yang berasal dari sumber untuk semu tahun dalamm kajian inventarisasi GRK harus menggunakan metode yang sama dengan kategori sumber yang sama juga, alasannya adalah agar dalam hal ini dapat direfleksikan perubahan emisi dari tahun ke tahun. Jadi emisi yang diberikan berbeda bukan karena metodenya berbeda namun karena memang bertambah/berkurangnya kategori sumber yang digunakan.

  • Komparabel atau dapat diperbandingkan (Comparability)

Laporan Kajian Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang dilaporkan, dapat dibandingkan dengan inventarisasi GRK dari daerah lain atau negara lain. Sehingga inventarisasi GRK harus mengikuti format yang telah disepakati oleh COP dan semua kategori. Sedangkan format pelaporan umum Inventarisasi GRK juga sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. 73 tahun 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.

  • Kelengkapan (Completeness)

Pelaporan kajian Inventarisasi Gas Rumah Kaca nantinya harus dilakukan secara lengkap dan tidak ada dugaan emisi yang tidak beralasan. Semua yang dicantumkan dalam kajian ini harus dijelaskan alasan-alasan yang melatarbelakangi. Tidak hanya dari segi hasil, apabila dalam perhitungannya ada data yang tidak dihitung atau dikeluarkan dari inventarisasi GRK maka harus diberikan pula justifikasinya dan alasan mengapa sumber tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan.

Inventarisasi GRK (Gas Rumah Kaca)

Inventarisasi GRK (Gas Rumah Kaca)

Perhitungan gas rumah kaca biasanya dituang dalam inventarisasi GRK. Inventarisasi GRK sendiri merupakan upaya pencatatan dan pendokumentasian emisi GRK yang dikeluarkan maupun yang diserap dari suatu aktivitas.

Berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim, Inventarisasi GRK memberikan informasi tambahan untuk reduksi emisi GRK.

Pembuatan Inventorisasi GRK memiliki tujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon. Inventarisasi GRK pun sudah tercantum dalam beberapa regulasi, antara lain:

  1. Perpres 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional
  2. Permen LHK No. 0.73/2017 tentanng Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventorisasi GRK

Sedangkan untuk cakupan emisi dari Inventorisasi gas rumah kaca, meliputi:

  • Pengadaan dan penyediaan energi
  • Proses industry dan penggunaan produk
  • Pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya
  • Pengelolaan limbah

Mengapa dalam suatu perusahaan atau instansi sangat dibutuhkan inventarisasi? Alasannya adalah:

  1. Dapat digunakan sebagai leporan berkelanjutan/laporan sosial-lingkungan atau laporan pengajuan
  2. Dapat digunakan sebagai penilaian performa perusahaan atau instansi dan perubahannya pada tiap waktu
  3. Menggambarkan keuntungan dan akses ke modal melalui indeks dan indicator
  4. Sebagai kompensasi Carbon Footprint dan emisi
  5. Memiliki kesempatan berpartisipasi dalam Carbon Market
  6. Persiapan untuk scenario GRK

Persiapan dalam inventarisasi Emisi GRK, meliputi:

Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca sendiri telah tercatat dalam ISO 14064. Didalam sini terdapat kuantifikasi dan pelaporan emisi gas rumah kaca serta verifikasi. Tidak hanya itu, dalam pelaporan inventarisasi gas rumah kaca, beberapa sektor yang perlu diperhatikan adalah:

Sektor Energi

Sektor  ini terbagi menjadi 3 yaitu:

  • Penggunaan energi listrik
  • Sumber tidak bergerak
  • Sumber bergerak

Sektor Limbah

Sektor limbah dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

  • Limbah padat (sampah)
  • Limbah cair

Sektor IPPU (Industrial Process and Product Uses)

Dalam analisis IPPU data yang dibutuhkan adalah data bahan baku dan produksi yang dihasilkan dari industri.

Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Other Land Use)

Sektor ini dilakukan analisis data untuk bidang peternakan yaitu dari Rumah Potong Hewan (RPH) meliputi jumlah hewan yang dipotong, dan dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian yag meiputi hewan ternak yang dikelola. Pada bidang pertanian analisis meliputi luas lahan.

Artikel ini diedit oleh Aghnia Putri Anshari yang memiliki pengalaman dalam Inventarisasi Gas Rumah Kaca

Apa Itu Gas Rumah Kaca?

Apa Itu Gas Rumah Kaca?

Gas Rumah Kaca atau yang biasa disebut GRK merupakan gas di atmosfer yang menyerap radiasi infra merah dan juga menentukan suhu atmosfer. Penyebabnya adalah adanya aktivitas manusia, khususnya adalah adanya kegiatan industri yang semakin tahun semakin bertambah, mengakibatkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer juga mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Berikut ilustrasi terjadinya efek rumah kaca:

Adapun enam gas yang digolongkan sebagai Gas Rumah Kaca adalah:

  • Karbondioksida (CO2)
  • Gas Metan (CH4)
  • Dinitrogen Oksida (N2O)
  • Sulfurheksaflourida (SF5)
  • Perflourokarbon (PCFS)
  • Hidroflourokarbon (HFCS)
  • Gas senyawa perusak lapisan ozon

Gas-gas diatas masing-masing memiliki nilai Global Warming Potential (GWP) yang berbeda-beda. Nilai GWP sendiri adalah potensi suatu gas dalam menyebabkan pemansan global yang diukur secara relatif berdasarkan emisi karbon dioksida. Dimana nilai GWP ini tergantung dari daya serap infra-merahnya dan panjang gelombang dari infra-merahnya. Yang dimana semakin nilai GWP maka semakin besar potensi penyebab pemanasan global, sebagai contoh nilai GWP CH4 adalah 21 artinya adalah setiap unit CH4 memiliki efektivitas 21 kali dibandingkan dengan CO2 dalam mencegah lepasnya radiasi inframerah dari atmosfer bumi. Berikut nilai GWP dari masing-masing Gas Rumah Kaca:

Meskipun nilai GWP CO2 tidak besar, namun CO2 merupakan jenis gas rumah kaca yang konsentrasinya paling besar di atmosfer. Contoh dibawah bersumber dari IPCC 2007 data bauran emisi gas rumah kaca tahun 2004.

Dari diagram diatas kita dapat mengetauhi bahwa kandungan CO2 di atmosfer kita memang lebih besar dari kandungan gas rumah kaca lainnya di atmosfer.

Artikel ini diedit oleh Aghnia Putri Anshari yang memiliki pengalaman dalam Inventarisasi Gas Rumah Kaca

PARTICULATE MATTER (PM) DALAM FLUIDA UDARA

PARTICULATE MATTER (PM) DALAM FLUIDA UDARA

Pada udara ambien terdapat pencemar berupa partikulat, di Indonesia sendiri, baku mutu yang ditetapkan adalah sebagai berikut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lampiran VII, 2021.

Pencemar ini banyak diemisikan oleh kendaraan bermotor, aktivitas industry dan lain sebagainya. Partikulat ini memiliki dampak atau efek buruk bagi Kesehatan manusia di antaranya adalah meningkatkan risiko penyakit jantung serta penyakit pernafasan yang lebih fatal yang salah satunya adalah kanker paru- paru, serta dapat meningkatkan risiko kematian. Parameter ini dapat di removal dari sumber emisi sebelum dilepaskan ke udara ambien. Beberapa alat digunakan untuk memenuhi baku mutu partikulat. Alat yang umum digunakan di antaranya adalah gravity settler, fabric filter, electrostatic precipitator dan wet scrubber.

  • gravity settler

alat ini mengandalkan ruang besar dengan aliran udara inlet dengan kecepatan rendah, partikulat yang ada pada udara perlakan akan bergerak kebawah karena adanya gaya gravitasi. Contoh alat yang menggunakan system gravity settler adalah cyclone. Pada cyclone udara mengalir dilewati pada sebuah tabung besar. Udara akan mengalir dengan lintasan sphrerical. Partikulat yang ada pada udara cenderung terlempar ke dinding cyclone karena adanya gaya centrifugal, setelah itu partikulat akan jatuh ke dasar cyclone karena adanya gaya gravitasi sedangkan udara akan keluar melalui lubang atas cyclone.

  • fabric filter

prisip kerja dari alat ini mirip dengan vacuum cleaner, udara inlet akan dialirkan menuju fabric filter untuk kemudian partikulat yang ada akan tersaring pada filter dan udara bersih akan mengalir keluar. Secara periodic partikulat akan dikumpulkan dengan cara shaking pada filter maupun menggunakan aliran ballik pada alat ini. Contoh alat dengan system fabric filter adalah baghouse.

  • electrostatic precipitator (ESP)

system ini mengandakan aliran listrik pada katoda maupun anoda didalah system sehingga udara yang masuk dan memiliki partikulat bermuatan akan mengalami removal pada parameter tersebut karena adanya tarikan antara partikulat ke arah katoda maupun anoda.

  • wet scrubber

Sistem ini menggunakan prinsip impaksi dan intersepsi dari partikulat untuk proses removalnya. Partikulat akan bertumbuk dengan tetesan air dan terperangkap sehingga dapat tersisihkan dari udara. Tetesan air kemudian akan menuju ke dasar wet scrubber karena gaya gravitasi.

Alat-alat tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, biasanya para engineer melakukan pertimbangan desain dan pemilihan alat berdasarkan efisiensi sistem secara keseluruhan. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan darj sistem untum penyisihan partikulat.

NoSistemKelebihan dan Kekurangan
1Mechanical collectorMurah, efisiensi moderate, baik untuk penyisihan partikulat dengan ukuran besar dan dengan loading yang tinggi
2Fabric filterMahal, efisiensi tinggi, mempunyai limit kondisi operasi pada keadaan kering dan suhu rendah, cocok untuk segala ukuran dan tipw partikulat
3ESPDapat menghandle Q udara inlet tinggi pada tekanan randah, efisiensi tinggi, mahal, tidak fleksibel terhadap perubahan kondisi operasi proses
4Wet scrubberEfisiensi tinggi, dapat meremove partikulat dan gas bersamaan, mahal, menimbulkan limbah cair dan sludge
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pengendali Emisi

Proses removal particulat memiliki 3 cara yaitu Impaksi, Intersepsi dan Difusi. Removal partikulat umumnya dibedakan berdasarkan massa dan ukurannya, semakin besar maka suatu partikulat dapat mengendap karena gravitasi dengan cepat. Analisis distribusi ukuran partikulat dapat menggunakan alat cascade impactor. Umumnya perhitungan waktu pengendapan dari partikulat berdasarkan perhitungan matematis, namun dapat juga dengan lebih mudah menggunakan tabel grafik berikut.

Pada grafik tersebut kita dapat menentukan waktu, jarak dan kecepatan terminal suatu partikel untuk mengendap/jatuh ke permukaan bumi. demikian sekilas informasi mengenai parameter partikulat. Artikel ditulis oleh Isrinannisa Yane Aulia yang memiliki pengalaman di bidang pertek emisi dan kajian dispersi emisi

Pengelolaan Limbah B3 PROPER

Pengelolaan Limbah B3 PROPER

Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat sebagai B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, Kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Berikut merupakan pengertian dari bahan berbahaya dan beracun menurut Permen LHK no 1 tahun tentang program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, dimana yang artinya dalam PROPER limbah B3 juga memiliki peran penting untuk diolah. Pengelolaan limbah B3 ini sangat penting dilakukan karena mengingat sifat limbah B3 sendiri yang sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga tiap industri diharuskan untuk melakukan mulai dari pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, serta penimbunan. Dari hal sederhana yang bisa dilakukan oleh suatu industri yang memiliki limbah B3 adalah dengan memiliki TPS atau Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3, yang dimana ruang TPS ini nantinya juga harus ada izin yang berlaku, izin penyimpanan sementara limbah B3 atau yang saat ini bernama Persetujuan Teknis. Dalam Permen LHK No 1 tahun 2021 ini juga menjelaskan bahwa untuk penilaian ketaatan di bidang Pengelolaan Limbah B3 setiap perusahaan harus memiliki beberapa hal, yaitu:

  1. Laporan pemenuhan ketentuan dalam Persetujuan Lingkungan
  2. Pendataan dan kodifikasi jenis limbah B3
  3. Kepemilikan dan keberlakuan perizinan Pengelolaan Limbah B3
  4. Laporan pemenuhan ketentuan dalam perizinan Pengelolaan Limbah B3
  5. Dokumen yang menerangkan kompetensi personel Pengelolaan Limbah B3
  6. Dokumen yang menerangkan sistem tanggap darurat Pengelolaan Limbah B3

Limbah B3 dalam penilaian PROPER sendiri merupakan salah satu aspek penting penilaian dalam kriteria pengelolaan lingkungan wajib, ini dikarenakan bahwa dampak dari limbah B3 yang dibiarkan berada di lingkungan sangat berdampak langsung bagi kelangsungan makhluk hidup di sekitarnya. Biasanya penilaian pengelolaan limbah B3 harus dilengkapi dengan salinan dokumen sebagai berikut:

  1. Bukti kompetensi personil
  2. Neraca limbah B3 (dilakukan selama periode penilaian Proper)
  3. Surat penyampaian laporan triwulan
  4. Perizinan pengelolaan limbah B3 baik itu mulai dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, serta penimbunan
  5. Foto yang berhubungan dengan persyaratan teknis
  6. Hasil uji laboratorium yang sangat diwajibkan, dengan penilaian antara lain:
  7. Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP)
  8. Uji kuat tekan untuk pemanfaatan, misal untuk paving block
  9. Uji emisi incinerator
  10. Uji air lindi penimbunan atau bioremediasi
  11. Sumur pantau penimbunan

Selain itu yang harus dilakukan oleh industri dengan penghasil limbah B3 adalah harus memperhatikan beberapa hal ketika mereka melakukan open dumping atau dumping terbuka dan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3. Yaitu berupa foto limbah yang di dumping terbuka, harus menyampaikan rencana pembersihan lahan dan bagaimana pemulihannya, dalam hal ini termasuk kedalam volume dan jumlah limbah B3 yang sudah dikelola maupun belum dikelola. Selain itu harus menyampaikan perkembangan pembersihan lahan dan pemulihan lahan terkontaminasi, menyampaikan hasil Analisa sumur pantau, kualitas tanah sekitar bekas open dumping, harus menyerahkan bukti pengelolaan lanjut, kemudian jika limbah B3 hasil pengangkutan dikirim ke pihak ketiga bisa menyampaikan dokumen manifes lembar 2, lembar 3, dan lembar 7. Dan yang terakhir menyampaikan dokumen Surat Status Pemulihan Lahan Terkontaminasi (SSPLT).

Salinan dokumen yang harus dilengkapi dari beberapa data penting yang sudah tercantum dalam Permen LHK No 1 tahun 2021 dalam pengelolaan limbah B3 adalah antara lain:

  1. Pendataan B3 yang mencakup rekanan data perusahaan eksportir dan importir B3 (jumlah dan jenis B3, serta penempatan dan pengemasan B3)
  2. Pengangkutan B3 termasuk didalamnya izin pengangkutan dan rekomendasi pengangkutan B3 beserta persyaratan teknisnya oleh pihak ketiga
  3. Tata kelola penyimpanan B3 yang mencakup persyaratan teknis penyimpanan B3

Artikel ini diedit oleh Aghnia Putri Anshari yang memiliki pengalaman dalam PROPER

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?