Bagaimana Sih Cara Mengidentifikasi dan Menetapkan Limbah B3?

Bagaimana Sih Cara Mengidentifikasi dan Menetapkan Limbah B3?

Kita kupas dulu mengenai identifikasi limbah B3. Dalam hal identifikasi limbah B3, kita harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pertama, yang harus kita lakukan adalah memperkirakan dahulu jumlah limbah B3 yang dihasilkan lalu dari tiap limbah yang diperkirakan tadi selanjutnya dilihat jenis dan kodenya. Dimana kita bisa melihat jenis dan kode tersebut? Yap, ada pada lampiran IX Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021. Sebelum melihat dan mengecek lampiran tersebut, kita harus memastikan limbah B3 yang dihasilkan sudah ter-list semua. Selanjutnya, kita lihat sumbernya dari mana (bisa di cek dari tabel 1 hingga tabel 4), lalu jenis limbah B3 yang dihasilkan itu apa saja, lalu jumlahnya berapa, dan nanti akan dikemas dalam kemasan seperti apa (apakah di dalam drum, jirigen, atau yang lain).

Setelah melakukan identifikasi limbah B3, selanjutnya adalah ke penetapan limbah B3.

Pertama, kita harus melihat dulu isinya di lampiran XI Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021. Pada lampiran tersebut, ada empat tabel yang dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu:

  • Tabel 1: Daftar Limbah B3 dari Sumber Tidak Spesifik
  • Tabel 2: Daftar Limbah B3 dari B3 Kedaluwarsa, B3 yang Tumpah, B3 Yang Tidak Memenuhi Spesifikasi Produk yang Akan Dibuang, dan Bekas Kemasan B3
  • Tabel 3: Daftar Limbah B3 Dari Sumber Spesifik Umum
  • Tabel 4: Daftar Limbah B3 Dari Sumber Spesifik Khusus

Langkah selanjutnya yaitu disesuaikan mana yang dihasilkan oleh industri kita, apakah sudah ada kodenya atau belum, jika sudah ada bisa langsung ditulis. Namun, bila limbah B3 yang dihasilkan oleh industri kita tidak ada di dalam lampiran XI Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021, maka kita harus mengajukan untuk penetapan limbah dengan jenis khusus tersebut. Beberapa karakteristik limbah B3 itu diantaranya mudah meledak, reaktif, infeksius, korosif, dan beracun.

Lalu, bagaimana langkah dalam pengajuan untuk penetapan limbah yang tidak tercantum pada lampiran lampiran XI Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021?

Pastinya kita harus mengajukan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada pengajuan ini dokumen harus dilengkapi dengan informasi proses industri, limbah yang dihasilkan, dan dilengkapi dengan bahan-bahan yang digunakan. Selanjutnya, limbah yang diajukan akan dilakukan uji karakteristik. Jika hasil pengujian ini memenuhi salah satu yang ditetapkan, maka nanti akan dilampirkan yang telah ditetapkan. Namun, jika dari hasil pengujian tidak menyebutkan hasil sebagai limbah B3 atau apa, maka cukup hanya melakukan list karakteristik.

Dokumen yang diajukan ke KLHK basanya dikirim dalam satu bundle untuk dilakukan penetapan oleh pemerintah. Saat ini case yang pernah melakukan pengajuan penetapan limbah B3 itu adalah dari kegiatan PLTU X, yang mana fly ice dan bottom ice ini menggunakan batu bara. Dari pengajuan dan dari hasil pengujian, ditetapkan yang tadinya limbah B3 sekarang non B3.

Pengendalian Emisi

Pengendalian Emisi

Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PerMen LHK) Nomor 5 Tahun 2021 yang mengatur tentang emisi, yang merupakan pencemar udara hasil dari aktivitas manusia yang dapat memasuki atmosfer, baik dengan potensi pencemaran udara atau tidak. Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah bahwa emisi tidak hanya mencakup zat beracun, tetapi juga segala jenis substansi yang dilepaskan ke udara sebagai hasil kegiatan manusia.

 

Emisi dan Pencemaran Udara

Emisi, sesuai dengan definisi dalam peraturan tersebut, adalah substansi yang masuk atau dilepaskan ke dalam udara, memiliki potensi pencemaran atau tidak. Pencemaran udara, di sisi lain, terjadi ketika zat atau energi yang ada di atmosfer melampaui Baku Mutu Udara Ambien yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pengendalian emisi menjadi krusial untuk mencegah pencemaran udara yang dapat berdampak buruk pada kualitas udara ambien.

 

Pentingnya Baku Mutu Udara Ambien

Kunci utama dalam upaya pengendalian emisi adalah Baku Mutu Udara Ambien. Ini adalah standar yang harus dipatuhi agar kualitas udara tetap berada dalam batas yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pengawasan secara rutin dengan melibatkan laboratorium menjadi suatu keharusan untuk memastikan bahwa emisi yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia tetap berada dalam batas yang ditetapkan.

 

Dampak Negatif Jika Emisi Tidak Dikendalikan

Pengendalian emisi menjadi suatu keharusan yang mendesak, karena jika tidak dilakukan dampak negatifnya dapat membayangi kesehatan masyarakat dan menyebabkan kerusakan lingkungan. PP Nomor 22 Tahun 2021 dan PerMen LHK Nomor 5 Tahun 2021, menyoroti urgensi pengendalian emisi untuk mencegah terjadinya dampak berbahaya. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika emisi tidak dikendalikan dengan baik:

1. Gangguan Pernapasan dan Kesehatan Masyarakat

Emisi yang tidak terkendali seringkali mengandung partikulat berbahaya seperti PM2.5 dan PM10. Partikulat ini dapat masuk ke saluran pernapasan manusia dan menyebabkan gangguan pernapasan, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Peningkatan kasus penyakit pernapasan seperti asma dan bronkitis dapat terjadi, mengancam kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai contoh kasus, ketika emisi mencapai tingkat yang tinggi di Jakarta, kualitas udara ambien dapat melampaui Baku Mutu, terutama pada parameter PM2.5. Dampak langsungnya adalah gangguan pernapasan, sehingga pemerintah memberlakukan kebijakan Work From Home (WFH).

2. Pencemaran Udara dan Deteriorasi Kualitas Udara

Emisi yang tidak terkendali menyebabkan pencemaran udara, di mana komponen kimia yang dilepaskan melampaui batas yang ditetapkan oleh Baku Mutu Udara Ambien. Pencemaran udara dapat merugikan kesehatan manusia dan juga berdampak negatif pada ekosistem. Kualitas udara yang buruk juga dapat menyebabkan efek rumah kaca, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan yang lebih luas.

3. Perubahan Iklim dan Bencana Alam

Gas rumah kaca yang dihasilkan oleh emisi, seperti karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), berkontribusi pada perubahan iklim global. Jika emisi tidak dikendalikan, dampaknya dapat meningkatkan intensitas bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai. Masyarakat akan menghadapi ancaman serius terkait dengan perubahan iklim yang dapat mempengaruhi keberlanjutan hidup.

4. Kerusakan Lingkungan dan Kehilangan Biodiversitas

Emisi dari berbagai kegiatan manusia dapat merusak lingkungan hidup dan mengancam keberlanjutan biodiversitas. Aspek-aspek seperti asam hujan, limbah kimia, dan perubahan iklim dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem darat dan perairan, mengancam keberlanjutan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

5. Krisis Ekonomi dan Sosial

Dampak negatif emisi yang tidak terkendali tidak hanya berhenti pada aspek kesehatan dan lingkungan. Krisis ekonomi dapat terjadi karena biaya perawatan kesehatan yang meningkat dan produktivitas yang menurun akibat penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara. Selain itu, masyarakat juga dapat mengalami dampak sosial, seperti penurunan kualitas hidup dan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya kesehatan.

6. Ancaman Terhadap Kualitas Air dan Sumber Daya Air

Emisi yang mencapai air dapat mencemari sumber daya air dan mengancam kualitas air yang digunakan oleh masyarakat. Ini dapat membahayakan keberlanjutan suplai air bersih dan mempengaruhi kehidupan ekosistem akuatik

 

Peran Sektor Industri dalam Pengendalian Emisi

Selain emisi dari sektor transportasi, peran sektor industri juga menjadi faktor kunci dalam menentukan kualitas udara. Dinas Lingkungan Hidup dan instansi terkait memiliki tanggung jawab dalam mengelola emisi industri. Persetujuan Teknis yang diberikan diharapkan dapat membantu mengendalikan emisi yang dihasilkan oleh kegiatan industri. Dalam kegiatan penyusunan Persetujuan Teknis Emisi perusahaan dapat bekerjasama dengan penyedia jasa penyusunan pertek emisi. Pengendalian emisi diharapkan dapat memastikan bahwa parameter kualitas udara tetap dalam batas yang aman.

Mengenal ISPU dan Pengukuran Kualitas Udara : Konsep, Perbandingan, dan Manfaat

Mengenal ISPU dan Pengukuran Kualitas Udara : Konsep, Perbandingan, dan Manfaat

Kualitas udara menjadi isu lingkungan yang semakin mendapatkan perhatian di tengah pertumbuhan perkotaan dan aktivitas industri. Pemantauan kualitas udara sangat penting untuk menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu alat yang digunakan untuk menyampaikan data kualitas udara adalah Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara rinci tentang ISPU, cara pengukuran, perbandingan dengan standar internasional, serta manfaatnya dalam mengambil tindakan respons terhadap kondisi udara yang tidak sehat.

Pengertian ISPU

ISPU, atau Indeks Standar Pencemar Udara, adalah alat ukur standar yang digunakan untuk menyampaikan data kualitas udara berdasarkan risiko atau dampak yang mungkin terjadi. Bedanya dengan pengukuran kualitas udara dalam bentuk angka, ISPU lebih fokus pada menyampaikan dampak kualitas udara terhadap kesehatan dan lingkungan. Kategorisasi ISPU melibatkan penilaian dalam bentuk kata seperti ‘baik’, ‘sedang’, ‘tidak sehat’, ‘sangat tidak sehat’, dan ‘berbahaya’.

Sebagai contoh, jika ISPU menunjukkan kategori ‘baik’, ini berarti udara tidak memberikan dampak negatif yang signifikan. Namun, jika ISPU menunjukkan kategori ‘berbahaya’, ini mengindikasikan adanya masalah serius yang memerlukan tindakan respons segera.

Mengenal ISPU dan Pengukuran Kualitas Udara: Konsep, Perbandingan, dan Manfaat
Mengenal ISPU dan Pengukuran Kualitas Udara: Konsep, Perbandingan, dan Manfaat

Parameter yang Digunakan dalam ISPU

ISPU menggunakan beberapa parameter untuk mengukur kualitas udara. Parameter tersebut mencakup Partikulat Matter (PM10 dan PM2,5), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Belerang Dioksida (SO2), Ozon (O3), dan Hidrokarbon (HC). Setiap parameter memiliki batas standar tertentu yang ditetapkan oleh otoritas lingkungan untuk menjaga kesehatan manusia.

Peraturan Terkait ISPU di Indonesia

Peraturan terkait ISPU di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.14/2020. Peraturan ini memberikan pedoman dan aturan terkait penggunaan ISPU, termasuk tabel konversi yang digunakan untuk menentukan kategori dampak berdasarkan nilai ISPU. Adanya peraturan ini memberikan dasar hukum bagi pihak berwenang dan masyarakat untuk mengambil tindakan respons terhadap kondisi kualitas udara yang tidak memenuhi standar.

Konsep Konversi dan Baku Mutu

Tabel konversi dalam Permen LHK No.14/2020 menentukan kategori dampak berdasarkan rentang nilai ISPU. Sebagai contoh, kategori ‘baik’ didefinisikan untuk nilai ISPU antara 0-50. Pemantauan Partikulat Matter (PM) dalam rentang 0-50 mikrogram per meter kubik dianggap sebagai kategori ‘baik’. Namun, perlu diperhatikan bahwa data ini keluar pada tahun 2020, dan kemungkinan masih mengacu pada standar baku mutu sebelumnya, yaitu PP 41/1999. Saat ini, standar baru telah ditetapkan oleh PP 22/2021.

Perbandingan dengan Standar Internasional

ISPU mengambil konsep dari Amerika Serikat, yang memiliki sistem serupa yang dikenal sebagai Air Quality Index (AQI). AQI digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara dengan cara yang mudah dimengerti. Meskipun konsep yang digunakan serupa, Indonesia melakukan modifikasi sesuai dengan kondisi lokal. Perbedaan ini mencakup perbedaan rentang nilai untuk kategori tertentu, sehingga perlu dipahami dengan cermat saat membandingkan ISPU dengan AQI atau standar internasional lainnya.

Cara Menghitung ISPU

Proses perhitungan ISPU melibatkan beberapa langkah. Misalnya, jika kita memiliki data rata-rata konsentrasi PM2,5 selama 24 jam sebesar 31,4 mikrogram per meter kubik, kita dapat menggunakan rumus konversi yang mempertimbangkan batas atas dan batas bawah nilai ISPU. Dengan memasukkan nilai konsentrasi dan batas-batas tersebut ke dalam rumus, kita dapat menentukan nilai ISPU untuk parameter tersebut. Misalnya, nilai ISPU 70 mengindikasikan kategori ‘sedang’ untuk konsentrasi PM2,5 tersebut.

Perbandingan dengan Air Quality Index (AQI)

Perbandingan antara ISPU dan AQI menunjukkan perbedaan dalam rentang nilai untuk kategori tertentu. Contoh perbedaan dapat dilihat pada penilaian ‘baik’. Di Indonesia, rentang ‘baik’ adalah 0-50, sedangkan di Amerika Serikat, rentang ‘good’ dalam AQI adalah 0-12. Perbedaan ini perlu dipahami agar informasi yang diterima oleh masyarakat sesuai dengan konteks dan standar yang berlaku.

Manfaat ISPU dalam Pengambilan Keputusan

ISPU memberikan manfaat signifikan dalam mengambil keputusan terkait kualitas udara. Pertama, ISPU menyederhanakan informasi kualitas udara menjadi kategori dampak yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Kedua, ISPU memberikan dasar untuk mengambil tindakan respons segera saat kualitas udara tidak memenuhi standar. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat tentang ISPU dan partisipasi dalam pemantauan kualitas udara menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.

Kesimpulan

ISPU merupakan alat yang efektif dalam menyampaikan informasi kualitas udara dengan fokus pada dampak terhadap kesehatan. Melalui konsep konversi dan penggunaan parameter tertentu, ISPU memungkinkan masyarakat dan pihak berwenang untuk dengan cepat merespons kondisi udara yang tidak sehat. Meskipun terdapat perbedaan dengan standar internasional seperti AQI, modifikasi ini sesuai dengan kondisi lokal dan baku mutu yang berlaku di Indonesia. Dengan pemahaman yang baik tentang ISPU, diharapkan masyarakat dapat lebih proaktif dalam menjaga kualitas udara di sekitarnya.

Udara Ambien Outdoor dan Indoor

Udara Ambien Outdoor dan Indoor

Udara ambien, atau udara luar, merupakan salah satu aspek lingkungan yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pemahaman akan kualitas udara ambien sangat penting, mengingat kita menghabiskan sebagian besar waktu kita di dalam maupun di luar ruangan. Udara ambien sendiri dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu outdoor dan indoor, yang masing-masing memiliki karakteristik dan permasalahan tersendiri.

Ambien Outdoor

Ambien outdoor merujuk pada kualitas udara di luar ruangan, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti industri, transportasi, dan aktivitas manusia lainnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia telah aktif melakukan pemantauan kualitas udara ambien di berbagai kota di seluruh negeri. Sebagai contoh, KLHK telah melakukan pemantauan di 46 kota di Indonesia, dan informasi terkait dapat diakses melalui situs resmi mereka di Ispu.menlhk.go.id.

Pada situs tersebut, masyarakat dapat dengan mudah memeriksa data kualitas udara di berbagai kota. Informasi yang disajikan dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU memberikan gambaran mengenai tingkat pencemaran udara yang dihasilkan oleh berbagai zat kimia dan partikel di udara. Dengan memahami ISPU, kita dapat menilai sejauh mana kualitas udara di suatu kota dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan.

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

ISPU merupakan alat ukur standar yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran udara. Indeks ini mencakup berbagai parameter seperti Partikulat Matter (PM10 dan PM2.5), Ozone (O3), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), dan Belerang Dioksida (SO2). Setiap parameter memiliki batas standar tertentu yang telah ditetapkan oleh otoritas lingkungan untuk menjaga kesehatan manusia.

Misalnya, partikulat matter (PM) adalah partikel kecil di udara yang dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan masalah pernapasan. ISPU mencantumkan tingkat PM10 dan PM2.5 untuk memberikan gambaran sejauh mana partikel-partikel ini dapat mempengaruhi kualitas udara. Semakin tinggi nilai ISPU untuk PM, semakin buruk kualitas udara di suatu wilayah.

Ambien Indoor

Selain ambien outdoor, kualitas udara di dalam ruangan atau ambien indoor juga memiliki peran yang sangat penting. Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita di dalam ruangan, baik di rumah, kantor, atau tempat-tempat umum lainnya. Oleh karena itu, pemahaman akan kualitas udara indoor sama pentingnya dengan pemahaman terhadap udara luar.

Perbedaan utama antara ambien outdoor dan indoor terletak pada sumber pencemar dan cara penanganannya. Sumber pencemar udara indoor dapat berasal dari berbagai hal, seperti asap rokok, bahan kimia rumah tangga, debu, dan bahkan formaldehida yang terlepas dari furnitur dan material bangunan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kebersihan udara di dalam ruangan dengan ventilasi yang baik dan penggunaan perangkat pembersih udara jika diperlukan.

Pentingnya Pemantauan Kualitas Udara

Pemantauan kualitas udara, baik di dalam maupun di luar ruangan, memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan masyarakat. Pencemaran udara dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan, alergi, dan bahkan penyakit jantung. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya kualitas udara dan partisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan sangat diperlukan.

Ambien outdoor dan indoor memiliki perbedaan karakteristik namun keduanya memiliki dampak besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pemantauan kualitas udara melalui ISPU menjadi langkah awal untuk memahami sejauh mana tingkat pencemaran udara di suatu wilayah. Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kualitas udara, baik di dalam maupun di luar ruangan, sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama menjaga kelestarian alam dan meningkatkan kualitas hidup untuk generasi mendatang.

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Jika skema perdagangan karbon sudah dibahas pada artikel sebelumnya, dalam artikel ini akan dibahas mengenai berbagai platform dalam perdagangan karbon. Verra merupakan salah satu platform terkemuka dalam perdagangan karbon. Kredit karbon yang terstandardisasi oleh Verra disebut dengan VCU. Skema perdagangan yang ada di platform ini hampir seluruhnya bersistem B2B atau bisnis to bisnis, yang sepenuhnya sukarela. Dimana satu bisnis akan melakukan project pengurangan emisi sedangkan bisnis lainnya akan membeli kredit yang dihasilkan untuk melakukan offset emisi yang mereka hasilkan. Project REED dan AFOLU merupakan project yang memiliki jumlah kredit karbon terbesar. Harganya berkisar antara 0,2 USD hingga 112 USD per VCU. Banyak project VCU yang memiliki lebih dari satu co-benefit seperti perlindungan habitat dan people empowerment yang akan meningkatkan harga kredit karbon. 

Selanjutnya ada platform lain yaitu Gold Standard, yang merupakan karbon market yang dibangun oleh WWF. Platform inimemiliki banyak project yang lebih cenderung ke Teknologi Based Solution (TBS) dibandingkan dengan Natural Based Solution (NBS). Gold Standard juga memfasilitasi transisi project dari Clean Development Mechanism (CDM) ke Voluntary Carbon Market. Unit karbon pada platform Gold Standard disebut dengan Certified Emission Reduction atau CERs untuk project yang bersifat mandatory, sedangkan disebut dengan Verified Emission Reduction untuk project yang bersifat voluntery. Gold Standard juga mendorong project untuk memiliki lebih dari satu co-benefit yang sesuai dengan SDGs yang ada. Dalam platform Gold Standard, setiap project harus menunjukkan bahwa dia mengakomodir SDGs goals nomor berapa dan harus minimal memiliki 4 SDGs yang diselesaikan. Mengenai harga kredit karbon, bergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Selanjutnya ada platform Plan Vivo. Platform Plan Vivo merupakan platform sertifikasi kredit karbon yang lebih menekankan pada social base and small scale carbon project. Pendekatannya adalah secara sosial kemudian mayoritas project-nya berada pada negara berkembang yang berlokasi di people atau cultural owned areas. Dalam Plan Vivo, setiap project juga mewajibkan untuk mengikutsertakan indigenous people dan mewajibkan 60% dari keuntungan atau benefit dari penjualan karbon harus disalurkan kepada indigenous people yang berpartisipasi. Unit karbon dalam platform Plan Vivo disebut dengan Plan Vivo Certificates atau PVCs. 

Beberapa contoh Credit Project yang ada di Indonesia diantaranya yaitu di sektor energi ada Medco Energi dan Methane Capture di Methane Recovery in Wastewater. Salah satu yang cukup terkenal di dunia yaitu Katingan Project, merupakan salah satu yang terbesar dan bisa dibilang harga kredit karbonnya cukup tinggi.

Beberapa contoh project pada platform Gold Standard yaitu ada with One Seed Community Forest Programme dan Sidrap Wind Farm Project. Gold Standard lebih cenderung ke Teknologi Based Solution meskipun tidak menutup kemungkinan adanya project-project yang di sektor AFOLU ataupun RED. Beberapa contoh project di platform Plan Vivo ada bujang raba, durian rambun, dan gula-gula.

Dengan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan karbon dan keberlanjutan, konsultan gas rumah kaca dapat membantu perusahaan dalam merencanakan dan mengimplementasikan inisiatif pengurangan emisi GRK serta pemanfaatan platform yang berfokus untuk manajemen dan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Jika sebelumnya sudah dibahas mengenai dua skema perdagangan karbon yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS), selanjutnya dalam artikel ini akan dibahas mengenai dua skema lainnya yaitu Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Telah disebutkan pada artikel sebelumnya bahwa platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, serta memberikan kejelasan mengenai kualitas dan cakupan dari proyek-proyek penyerapan karbon.

Skema Joint Implementation (JI) merupakan skema yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari negara maju melalui project kerjasama di negara-negara berkembang atau biasa disebut sebagai host country. Apabila project berhasil maka akan mendapatkan sertifikat Emission Reduction Units (ERU) yang dapat diklaim oleh kedua negara sebagai klaim pengurangan emisi. Lain halnya penerapannya di Indonesia, kebanyakan mayoritas dari project Joint Implementation (JI) yang dilakukan adalah kerjasama dengan pemerintah Jepang. Pada tahun 2022, kurang lebih ada 48 project dan berfokus pada sektor energi dan sektor limbah, baik itu introduksi sumber energi terbarukan ataupun introduksi teknologi pengolahan limbah yang mampu mengurangi emisi yang dihasilkan baik metan ataupun karbondioksida.

Selanjutnya adalah skema Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Carbon Crediting adalah izin atau sertifikat yang dapat diperdagangkan, dapat memberikan hak kepada pemegang kredit untuk beremisi 1 ton karbon dioksida atau setara dengan gas rumah kaca lainnya. Umumnya sertifikat ini dibeli oleh emiter dari para pemilik project penyerapan karbon. Sertifikat karbon diperoleh pemilik project yang kemudian disertifikasi oleh pihak ketiga atau lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi karbon kredit. Ketika kreditnya sudah verified, maka dapat dijual dengan mekanisme pasar bebas, namun ditentukan pada kualitas dan cakupan yang menjadi tingkat “keseksian” dari project karbon tersebut. Tingkat “keseksian” inilah yang secara tidak langsung menentukan harga dari kredit project tersebut. Dalam skema Carbon Offsetting, ada istilah Voluntary Carbon Market yang mana ada beberapa platform terkemuka seperti Verra, Gold Standard, American Carbon Registry, Plan Vivo, atau Climate Action Reserve. Dari sekian platform yang ada, Verra merupakan platform nomor 1 yang memiliki jumlah project yang paling banyak diikuti. Selain dari lima platform yang telah disebutkan, sebenarnya masih banyak lagi platform yang lain, seperti ada Corsia Aviation dan CCB, namun biasanya memang disatukan dalam satu verifikasi sehingga nilai atau harga dari project tersebut akan meningkat. Sebagai informasi tambahan, rata-rata harga dari karbon kredit, sebagai contoh yaitu project dari Reduce Emition and Deforestation (RED), yang mana kurang lebih jumlah project paling banyak dipegang oleh project ini. Harga karbon kredit pada project ini di tahun 2021 berkisar antara 3 dolar.

Voluntary Carbon Market merupakan salah satu pasar karbon yang paling besar dibandingkan dengan CDM atau JI, ataupun dibandingkan ketiga pasar lainnya. Setiap tahunnya, karbon kredit di pasar ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun berakibat pada menurunnya harga rata-rata dari Natural Based Solution (NBS) yang dilakukan. Namun hal itu bukan berarti bahwa harga dari karbon kredit yang berasal dari Natural Based Solution (NBS) sangat rendah. Jumlahnya yang tinggi memengaruhi nilai rata-ratanya, sedangkan beberapa project memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata 1 dolar ini. Di sisi lain, banyak project seperti di Afrika atau di Amerika Selatan yang sulit untuk menembus angka 2 dolar, karena kembali lagi dari kualitas serta dari cakupan project yang kurang menyeluruh ataupun tidak memasukkan aspek-aspek penting yang seharusnya dimasukkan ke dalam project itu sendiri.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Dalam hal perdagangan karbon, terdapat suatu rancangan di dalamnya yang selanjutnya kita sebut dengan skema perdagangan karbon. Skema perdagangan karbon hadir sebagai komitmen Global yang dimulai dari Kyoto Protocol. Dalam Kyoto Protocol dihasilkan produk berupa rancangan atau skema yang disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM) serta konferensi-konferensi lainnya yang menghasilkan nilai kontribusi pengurangan emisi nasional yang dikenal dengan istilah National Determined Contribution (NDC). mulai dari perjalanan dari Kyoto Protocol hingga konferensi-konferensi berikutnya, hanya ada sedikit perubahan dari awal CDM terbentuk yang mana tidak mengubah nilai ­fogs-nya.

Dalam perdagangan karbon, karbon adalah objek yang bersifat intensible, maksudnya adalah tidak dapat dipegang dan ia bukan merupakan karbon aktif. Perdagangan karbon itu adalah suatu hal yang sedang terjadi atau happening sekarang. Beberapa orang berpikir bahwa perdagangan karbon adalah jual beli arang atau jual beli karbon aktif, namun bukan seperti itu. Karbon dalam perdagangan karbon merupakan suatu benda yang dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan CO2 atau ton CO2 equivalen. Karbon yang dibahas ini dapat berupa jasa atau kuota emisi, serta bersifat pengurangan atau penambahan. Hal ini bisa cukup rumit atau tricky, karena di satu sisi bisa bersifat mengurangi atau di sisi lain bisa bersifat menambah.

Selanjutnya, ada beberapa skema perdagangan karbon yang umum dikenal. Pertama, Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan produk dari Kyoto Protocol. Kedua, Emission Trading System (ETS). Ketiga, Joint Implementation (JI). Keempat, ada Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua skema, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS).

Pertama, kita kupas mengenai Clean Development Mechanism (CDM). Clean Development Mechanism (CDM) merupakan suatu mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam framework kerjasama antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Objek utama dari skema perdagangan ini adalah sertifikasi karbon yang ditangkap oleh negara berkembang dan digunakan oleh emiter-emiter di negara-negara maju. Ketika negara berkembang melakukan suatu project untuk mengurangi emisi atau “menangkap emisi”, unit yang tersertifikasi tersebut dijual ke negara maju yang akan diklaim sebagai pengurangan emisi di negara-negara maju. Berdasarkan UNFCCC, project CDM di Indonesia kurang lebih ada 156 project, yang telah terverifikasi sebanyak 49 project dengan total volume karbon sebanyak 34 juta ton CO2. Jumlah tersebut dikenai harga berkisar antara 1 USD sampai dengan 7 USD per ton CO2, tergantung kepada jenis project ataupun teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Kedua, skema yang kita kenal sebagai Emission Trading System (ETS). Emission Trading System (ETS) merupakan skema transfer emisi antar anggota sistem yang umumnya terkoneksi dalam satu grip yang sama, seperti di EU (Europe) ETS, China ETS, NA ETS, dan sebagainya. Mayoritas Emission Trading System (ETS) di beberapa grip ini dilakukan karena ada kewajiban atau sifatnya mandatory bagi setiap anggota sistem tersebut untuk mengurangi atau membatasi emisi yang dihasilkan. Emission Trading System (ETS) biasanya ada yang disebut dengan alokasi atau allowance untuk emisi GRK dalam satu periode. Misalnya dalam satu tahun setiap orang atau setiap anggota dalam ETS A memiliki allowance sebanyak 1000 ton CO2. Ketika allowance itu ada yang tersisa di salah satu anggotaataupun ketika ada anggota yang menghasilkan emisi melebihi dari allowance yang diperbolehkan, maka pada moment inilah terjadi perdagangan karbon atau perdagangan emisi antar anggota sistem ETS itu sendiri. Di Indonesia, ETS sudah mulai dilaksanakan pada Februari 2023 untuk seluruh PLTU batubara dimana sistem transaksinya diatur oleh Bursa Efek Indonesia dalam Apple Gatrix application, untuk semua update seperti Real Time Emission Report kemudian jumlah batasan allowancenya untuk masing-masing PLTU serta harganya berapa dan bagaimana trading yang terjadi.

Dalam konteks skema perdagangan karbon, platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, dan mendorong kolaborasi antar pihak yang terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Jasa konsultan gas rumah kaca berperan penting untuk memberikan pandangan ahli terkait implementasi skema perdagangan karbon, membantu perusahaan dan pemerintah dalam pemilihan strategi yang tepat, serta memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan standar internasional.

Asal Mula Perdagangan Karbon

Asal Mula Perdagangan Karbon

Ada cerita menarik mengenai munculnya perdagangan karbon yang bisa menjadi wawasan baru bagi kita semua. Inisiasi perdagangan karbon diawali dengan adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkelanjutan. Efek rumah kaca yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi ini akan mempercepat laju pencairan es di kedua kutub sehingga berimbas pada peningkatan volume air di lautan yang pastinya menjadi ancaman bagi negara-negara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut, seperti Tuvalu dan Maldive. Negara-negara tersebut diprediksi akan kehilangan sebagian besar hingga 100% wilayahnya pada tahun 2050.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) juga menyebabkan disrupsi kepada kondisi alami musim secara global. Disrupsi yang dimaksud adalah yang pertama berupa bergesernya waktu seperti yang terjadi di musim hujan dan musim kemarau, yang saat ini kita rasakan. Kedua, terjadi perubahan durasi musim, maksudnya adalah musim panas yang lebih panjang, musim hujan yang lebih panjang atau lebih pendek. Ketiga, terjadi perubahan intensitas musim, seperti yang terjadi di beberapa negara yang mengalami musim panas yang berubah menjadi heatwave, di negara-negara yang mengalami musim dingin terjadinya freezing winter yang dinginnya melebihi batas normal. Disrupsi siklus musim alami ini juga akan berpengaruh pada aspek kehidupan manusia, seperti terganggunya produksi pangan, gangguan kesehatan, dan hilangnya spesies kunci yang berperan bagi kehidupan manusia, seperti berkurangnya jumlah serangga atau misalnya lebah sebagai penyerbuk alami di banyak tanaman pangan utama yang penting bagi manusia. Ditambah lagi, habitat alami yang berperan bagi kehidupan manusia juga terancam terganggu, yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi pusat nursery bagi ikan-ikan di laut. Disrupsi musim ini akan berujung pada kerugian ekonomi yang sudah kita rasakan saat ini serta generasi anak cucu kita akan merasakan penurunan kualitas hidup nantinya.

Data dari IPCC tahun 2021 menyampaikan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan suhu rata-rata pada tahun 1900. Jika  dilihat pada siklus alaminya, suhu rata-rata akan mengalami penurunan pada suatu titik. Ketika sudah naik dan peningkatannya melebihi peningkatan sebelumnya, maka penurunan yang terjadi tidak akan mampu untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. IPCC juga menyampaikan bahwa kita yang hidup saat ini akan merasakan sebagian kecil dari efek global warming, sedangkan sebagian besar lainnya diprediksi baru akan dirasakan oleh generasi anak dan cucu kita, khususnya bagi yang baru lahir pada tahun 2020 apabila tidak ada kemauan dan aksi nyata yang kita lakukan untuk mengurangi emisi yang telag kita hasilkan. Jika kita membagi jumlah emisi per negara dan perbenua, maka emisi GRK terbesar dihasilkan oleh China dan Amerika yang kurang lebih menghasilkan 40% dari total emisi global. Disusul dengan India, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa, sedangkan Afrika yang notabenya memiliki luas benua cukup besar hanya berkontribusi sebanyak 3% dari emisi global. Berbeda hasilnya jika kita membagi emisi tersebut dengan jumlah penduduk menjadi emisi GRK perkapita, jumlah emisi Cina akan menurun drastis karena jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa sedangkan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit namun emisinya cenderung tinggi seperti Qatar, Singapura, Brunei akan menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Cina.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang menjadi alasan atas terinisiasinya perdagangan karbon di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

 

 

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan, perlunya suatu kajian mengenai dampak lingkungan muncul. Salah satu kajian tersebut adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL merupakan suatu kajian mengenai dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek terhadap lingkungan, dan bagaimana cara mengurangi dampak tersebut. Kali ini Lensa Lingkungan akan mengulas Sejarah AMDAL dan Implementasinya di Indonesia.

Awal Mula

Konsep AMDAL pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1969, setelah terjadinya bencana lingkungan besar akibat kecelakaan kapal minyak di Teluk Santa Barbara. Bencana ini memicu kesadaran akan perlunya melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut. Lalu, munculah Undang-Undang Lingkungan Hidup di Amerika Serikat yang mewajibkan dilakukannya kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Sejarah AMDAL di Indonesia

Pada tahun 1982, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini merupakan landasan hukum pertama mengenai perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Di dalamnya termasuk kewajiban untuk melakukan kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara lebih rinci mengenai AMDAL. Diaturlah bahwa setiap kegiatan yang memiliki potensi dampak signifikan terhadap lingkungan wajib untuk melakukan kajian AMDAL. Selain itu, terdapat pula kewajiban untuk melakukan konsultasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek tersebut.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 2009, di mana Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menguatkan kembali peran Amdal sebagai instrumen penting dalam pengambilan keputusan pembangunan. Disempurnakannya peraturan-peraturan terkait Amdal tersebut semakin menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup dari dampak negatif pembangunan.

Hingga saat ini berlaku UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan berbagai UU, termasuk UU No.32 Tahun 2009. Dan berlaku juga PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tujuan dan Implementasi

AMDAL diciptakan dengan tujuan dapat mencegah, mengurangi, dan mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan pembangunan, baik itu dari sektor industri maupun infrastruktur.

Pada prakteknya, implementasi AMDAL di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Mulai dari minimnya kesadaran akan pentingnya AMDAL di kalangan pengembang proyek, hingga minimnya pengawasan dari pihak berwenang terhadap pelaksanaan AMDAL. Banyak proyek pembangunan yang dijalankan tanpa adanya kajian AMDAL yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan.

Namun dampak positif dari implementasi AMDAL di Indonesia juga telah terlihat. Banyak proyek pembangunan yang akhirnya dihentikan atau dimodifikasi setelah ditemukan dampak yang berpotensi merusak lingkungan.


Sejarah AMDAL bermula dari kesadaran akan perlunya perlindungan lingkungan hidup, dan secara bertahap mulai diimplementasikan di berbagai negara termasuk Indonesia. Meskipun masih menghadapi tantangan, implementasi AMDAL di Indonesia telah memberikan dampak positif dalam melindungi lingkungan hidup. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari semua pihak untuk menerapkan AMDAL secara konsisten guna menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi fugitive merupakan emisi yang berasal dari sumber-sumber yang sulit untuk diidentifikasi atau diukur, seperti kebocoran gas, debu, uap, atau partikel dari berbagai jenis industri dan/atau proses manufaktur. Secara teknis emisi fugitif adalah emisi yang tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan.

Emisi ini dapat berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan manusia karena seringkali sulit untuk dikendalikan dan seringkali melebihi batas aman yang ditetapkan.

Dari segi kesehatan manusia, emisi fugitif dapat menyebabkan gangguan pernafasan, iritasi kulit dan mata, serta masalah kesehatan lainnya seperti kanker, gangguan saraf, dan masalah kesehatan lainnya. Selain itu, terpaparnya gas beracun atau bahan kimia berbahaya dapat menyebabkan keracunan atau kematian akibat paparan yang tinggi.

Selain dampak langsung bagi kesehatan manusia, emisi fugitif juga memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan. Gas-gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global, yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya alam. Selain itu, emisi fugitif dapat menyebabkan eutrofikasi air, asidifikasi tanah.

Contoh industri yang memiliki emisi fugitif adalah industri pertambangan dan pengolahan mineral, industri kimia, petrokimia, serta industri pembangkit listrik. Pada industri ini, emisi fugitif umumnya terjadi akibat kebocoran pada peralatan pengolahan maupun proses produksi. Contohnya, pada industri pertambangan, kebocoran gas metana seringkali terjadi akibat proses penambangan batubara atau penggalian tambang.

Untuk mengatasi masalah emisi fugitif, langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih ketat perlu diterapkan. Pemerintah perlu melakukan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap industri-industri yang potensial menghasilkan emisi fugitif.

Lensa Lingkungan bisa membantu perusahaan dalam melakukan pengelolaan emisi fugitif. Kontak kami untuk info lebih lanjut.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?