Parameter Penilaian PROPER Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021

Parameter Penilaian PROPER Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021

Pernah mendengar istilah PROPER? Bagi para pelaku bisnis, khususnya yang bergerak di bidang industri, istilah ini tentu sudah tidak asing lagi. PROPER, atau Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, merupakan rapor bagi perusahaan dalam menjaga lingkungan.

PROPER menjadi tolok ukur keseriusan perusahaan dalam mengelola dampak lingkungan dari aktivitasnya. Lebih dari sekadar menilai kepatuhan terhadap aturan, PROPER sebuah dorongan bagi perusahaan untuk terus berbenah dan mencapai standar pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Tapi, apa sebenarnya yang dinilai dalam PROPER ini? Bagaimana parameter penilaian PROPER berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021?

Dua Aspek Utama Penilaian PROPER

Memahami parameter penilaian PROPER, bisa merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021 Pasal 16 ayat 2. Secara garis besar, penilaian PROPER dilakukan terhadap dua aspek utama:

a. Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan

Aspek pertama ini menilai seberapa patuh perusahaan dalam menaati peraturan di bidang lingkungan hidup. Hampir semua industri pasti bersinggungan dengan air, udara, dan menghasilkan limbah. Oleh karena itu, PROPER hadir untuk memastikan bahwa setiap industri mengelola aspek-aspek tersebut dengan baik dan bertanggung jawab.

Delapan poin penting yang menjadi fokus penilaian antara lain:

  1. Pengendalian Pencemaran Air: Bagaimana perusahaan mengelola air limbah dan memastikan tidak mencemari sumber air. Khusus bagi industri yang sangat bergantung pada air, seperti industri air minum dalam kemasan, PROPER juga menilai upaya mereka dalam menjaga kelestarian sumber air.
  2. Pemeliharaan Sumber Air: Upaya perusahaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sumber air yang digunakan, termasuk upaya konservasi dan perlindungan sumber air.
  3. Pengendalian Pencemaran Udara: Setiap industri pasti menghasilkan emisi gas. PROPER menilai seberapa baik perusahaan mengendalikan emisi tersebut agar tidak mencemari udara.
  4. Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun): Pengelolaan limbah B3 harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mencegah dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia.
  5. Pengelolaan Limbah Non-B3: Meskipun tidak seberbahaya limbah B3, limbah non-B3 juga perlu dikelola dengan baik agar tidak mencemari lingkungan.
  6. Pengelolaan B3: Dalam hal pengelolaan, B3 diklasifikasikan menjadi B3 yang dapat dipergunakan, B3 yang dilarang dipergunakan, B3 terbatas dipergunakan
  7. Pengendalian Kerusakan Lahan: Industri seperti pertambangan yang menggunakan lahan dalam skala besar, wajib menjaga dan memulihkan lahan agar tidak terjadi kerusakan.
  8. Pengelolaan Sampah: Perusahaan harus memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik, mulai dari pemilahan, pengurangan, hingga pengolahan sampah.

Mari kita lihat contoh pada poin pertama, yaitu pengendalian pencemaran air. Hampir semua industri pasti menggunakan air dalam proses produksinya. Karena itu, pengelolaan air limbah menjadi sangat penting agar tidak mencemari lingkungan. Khusus bagi industri yang menggunakan air dalam jumlah besar, seperti industri air minum dalam kemasan, mereka juga harus melakukan pemeliharaan sumber air. Tentu saja, tingkat keketatan penilaian akan disesuaikan dengan seberapa besar ketergantungan industri terhadap air.

Begitu pula dengan pengendalian pencemaran udara. Hampir semua industri menghasilkan emisi gas buang. Oleh karena itu, perusahaan harus menaati peraturan yang berlaku untuk mengendalikan pencemaran udara. Selain limbah cair dan gas, limbah padat juga perlu diperhatikan. Limbah padat ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu limbah B3 dan non-B3. Keduanya harus dikelola dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Industri yang menggunakan lahan dalam skala besar, seperti pertambangan, juga harus memperhatikan pengendalian kerusakan lahan. Mereka wajib menaati peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

b. Kinerja Melampaui Kewajiban

Setelah memenuhi semua kewajiban di atas, perusahaan bisa menaikkan peringkat PROPER-nya dengan menunjukkan kinerja lingkungan yang melebihi standar. Inilah yang akan mengarahkan perusahaan menuju peringkat PROPER Hijau dan Emas.

Kriteria penilaiannya meliputi:

  1. Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment/LCA): LCA adalah metode untuk mengukur dampak lingkungan suatu produk atau jasa selama seluruh siklus hidupnya.
  2. Sistem Manajemen Lingkungan (SML): Perusahaan harus memiliki SML yang terdefinisi dengan baik, diimplementasikan secara efektif, dan terintegrasi dengan proses bisnis perusahaan.
  3. Penerapan SML: Aspek ini mencakup efisiensi energi, penurunan emisi, efisiensi air, pengelolaan limbah B3 dan non-B3, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
  4. Pemberdayaan Masyarakat (CSR): Program CSR yang berdampak positif bagi masyarakat sekitar menjadi poin penting dalam penilaian PROPER.
  5. Tanggap Kebencanaan: Perusahaan diharapkan memiliki program dan berkontribusi dalam penanggulangan bencana di wilayah operasinya.
  6. Inovasi Sosial: Perusahaan didorong untuk mengembangkan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

PROPER: Lebih dari Sekedar Penilaian

PROPER bukan hanya sekadar penilaian, tetapi juga bentuk apresiasi dan motivasi bagi perusahaan untuk terus meningkatkan kinerja lingkungannya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, perusahaan tidak hanya akan memperoleh pengakuan dari pemerintah, tetapi juga meningkatkan citra perusahaan, mengurangi risiko lingkungan, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan generasi mendatang.

 

 

 

PROPER Kunci Sukses dan Tanggung Jawab Perusahaan di Era Pembangunan Berkelanjutan

Di era kesadaran lingkungan yang semakin meningkat, perusahaan dituntut untuk tidak hanya mengejar profit, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam. Salah satu instrumen penting dalam mendorong perusahaan untuk menerapkan praktik bisnis berkelanjutan adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang lebih dikenal dengan PROPER.

PROPER, yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021, merupakan evaluasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Program ini memberikan peringkat kepada perusahaan berdasarkan tingkat kepatuhan dan keunggulannya dalam mengelola dampak lingkungan dari operasinya. Peringkat PROPER Hijau dan Emas, menjadi simbol prestise dan pengakuan atas komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan.

Lalu, apa saja kepentingan perusahaan dalam meraih PROPER Hijau dan Emas? Mari kita telaah lebih dalam.

PROPER Kunci Sukses dan Tanggung Jawab Perusahaan di Era Pembangunan Berkelanjutan
 

Perusahaan Wajib PROPER?

Peraturan Menteri LHK No. 1 Tahun 2021 dengan tegas menyatakan bahwa setiap perusahaan memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1). Tanggung jawab ini bukan hanya sebatas kewajiban, tetapi juga menjadi kunci keberlanjutan bisnis di masa depan.

Namun, tidak semua perusahaan wajib mengikuti PROPER. Program ini difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan hidup, terutama yang berpotensi menyebabkan perubahan rona lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 2).

Lebih lanjut, Pasal 11 ayat 2 menyebutkan kriteria khusus perusahaan yang wajib memiliki Persetujuan Lingkungan dan memenuhi kriteria PROPER, antara lain:

  • Hasil produknya untuk tujuan ekspor
  • Terdaftar dalam pasar bursa
  • Menjadi perhatian masyarakat, baik dalam lingkup regional maupun nasional
  • Skala kegiatannya signifikan sehingga berdampak terhadap lingkungan hidup

Khusus untuk sektor industri dan jasa transportasi, PROPER menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar (Pasal 12 ayat 3). Mengapa sektor ini menjadi fokus? Karena industri dan transportasi merupakan penyumbang emisi dan limbah yang signifikan. Kontribusinya dalam pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat penting.

PROPER: Mendorong Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan

PROPER tidak hanya menuntut perusahaan untuk mematuhi regulasi lingkungan, tetapi juga mendorong penerapan produksi dan konsumsi berkelanjutan. Dengan meraih peringkat PROPER Hijau dan Emas, perusahaan diharapkan mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam seluruh aspek operasionalnya, mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi produk.

PROPER dan Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu aspek penting dalam PROPER adalah pemberdayaan masyarakat. Perusahaan didorong untuk berkontribusi pada peningkatan ekonomi lokal di sekitar area operasinya. Melalui program-program CSR yang terintegrasi dengan strategi keberlanjutan, perusahaan dapat membantu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan melestarikan budaya lokal.

PROPER dan Sustainable Development Goals (SDGs)

PROPER sejalan dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, perusahaan turut berkontribusi dalam mencapai berbagai tujuan SDGs. Upaya tersebut dapat membantu mengatasi perubahan iklim, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengurangi kemiskinan.

Meraih PROPER Hijau dan Emas bukan hanya tentang memenuhi kewajiban dan mendapatkan pengakuan. PROPER merupakan instrumen strategis bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing, menjaga reputasi, dan menjamin keberlanjutan bisnis di masa depan. Dengan berkomitmen pada pengelolaan lingkungan hidup yang baik, perusahaan dapat memberikan kontribusi nyata bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

 

Pemantauan Kualitas Udara Ambien: SNI Nomor 19-7119.6-2005

Pemantauan kualitas udara ambien bertujuan untuk mengidentifikasi polusi udara yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, seperti industri, transportasi, dan domestik. Proses ini melibatkan identifikasi lokasi-lokasi strategis yang sensitif terhadap polusi udara. Prinsip utama dalam penentuan lokasi pengambilan contoh uji adalah representasi dan pertimbangan faktor-faktor yang memengaruhi kualitas udara. Lokasi pengambilan contoh harus mewakili kondisi udara area yang dipantau serta harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti arah angin dominan, keberadaan sumber emisi, dan kepadatan penduduk.

Pemantauan Kualitas Udara Ambien: SNI Nomor 19-7119.6-2005

Identifikasi Arah Angin Dominan

Langkah awal dalam penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien adalah mengidentifikasi arah angin dominan. Arah angin dominan biasanya ditunjukkan oleh garis-garis putus-putus pada peta meteorologi. Jika arah angin dominan menuju suatu arah, minimal dua lokasi di arah tersebut harus dilakukan sampling. Jika tidak ada arah angin dominan, maka semua arah (utara, selatan, barat, timur) harus dilakukan sampling

Perhitungan Radius Sampling

Setelah arah angin dominan diketahui, langkah berikutnya adalah menentukan radius sampling. Radius sampling harus cukup jauh agar tidak terpengaruh secara signifikan oleh emisi lokal. Misalkan terdapat perumahan, radius sampling harus dipilih sedemikian hingga tidak terkontaminasi oleh gas-gas dari cerobong. Jika terjadi efek dari cerobong pada jarak tertentu, maka radius sampling harus lebih luas daripada jarak tersebut.

Pertimbangan Kondisi Meteorologis dan Tata Guna Tanah

Prosedur penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien juga memperhatikan kondisi meteorologis dan tata gugusan tanah. Model-model pencemaran udara digunakan untuk menentukan dispersi udara dari cerobong terhadap kondisi udara sekitarnya. Tinggi cerobong juga berpengaruh pada jarak efektif sampling. Cerobong yang pendek (3–4 meter) akan memiliki jarak efektif sampling yang lebih dekat, sedangkan cerobong yang tinggi akan memiliki jarak yang lebih jauh.

Pertimbangan Lokasi Penduduk Padat

Jika terdapat penduduk padat di sekitar industri, maka lokasi sampling harus dipilih di daerah yang agak jauh dari industri tersebut. Hal ini untuk menghindari kontaminasi udara akibat emisi industri. Meskipun demikian, jika penduduk padat, maka masih tetap harus mencari lokasi yang optimal untuk sampling.

Pertimbangan Alam Sekitar

Selain lokasi penduduk, perlu juga mempertimbangkan alam sekitar. Pohon-pohon dapat menghalangi alat pengukur angin (anemometer) sehingga hasil pengukuran tidak akurat. Oleh karena itu, usaha-usaha dilakukan untuk memastikan bahwa pohon tidak mengganggu alat pengukur.

Penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien harus dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan berbagai faktor yang telah dijelaskan. Dengan mengikuti panduan SNI 19-7119.6-2005, diharapkan hasil pemantauan kualitas udara ambien dapat merepresentasikan kondisi udara sebenarnya dan memberikan informasi yang akurat untuk pengambilan keputusan terkait pengendalian pencemaran udara.

Opasitas Asap Cerobong: Antara Pengamatan Visual dan Pengukuran Akurat

Opasitas Asap Cerobong: Antara Pengamatan Visual dan Pengukuran Akurat

Asap dari cerobong industri, seperti pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) atau pabrik semen, menjadi perhatian penting dalam upaya menjaga kualitas udara. Opasitas, atau tingkat kepekatan asap cerobong, merupakan salah satu indikator utama yang menunjukkan kadar polutan yang dilepaskan ke atmosfer. Namun, mampukah mata manusia menilai opasitas asap cerobong secara akurat?

Keterbatasan Pengamatan Visual

Meskipun kita dapat dengan mudah melihat asap yang mengepul dari cerobong, menentukan tingkat opasitas asap secara presisi hanya dengan penglihatan ternyata bukan perkara mudah. Ada beberapa faktor yang membatasi akurasi pengamatan visual.

Pertama, persepsi visual bersifat subjektif. Setiap individu memiliki kepekaan yang berbeda dalam menerima dan menginterpretasi rangsangan visual. Faktor usia, kondisi kesehatan mata, bahkan latar belakang pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi penilaiannya terhadap tingkat kepekatan asap. Akibatnya, dua orang yang mengamati cerobong yang sama dapat memberikan kesimpulan yang berbeda tentang opasitas asap.

Kedua, kondisi lingkungan juga turut berperan. Intensitas cahaya matahari, warna langit, dan objek-objek di sekitar cerobong dapat menciptakan ilusi optik yang menyesatkan pengamatan. Asap yang tampak pekat di bawah sinar matahari terik bisa jadi terlihat lebih tipis saat cuaca mendung.

Ketiga, mata manusia memiliki keterbatasan dalam membedakan gradasi warna secara detail. Skala Ringelmann, yang diadopsi dalam SNI 19-7117.11-2005, memang menyediakan panduan visual untuk mengestimasi opasitas. Namun, skala ini hanya menyajikan lima tingkat gradasi opasitas (20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%), sementara kenyataannya opasitas asap dapat bervariasi secara kontinu.

Urgensi Pengukuran Akurat Opasitas Asap dengan Instrumen

Mengingat keterbatasan pengamatan visual dalam menentukan opasitas asap cerobong, penggunaan instrumen pengukur opasitas menjadi sangat penting. Opacity meter, misalnya, bekerja dengan memancarkan sinar ke dalam cerobong dan mengukur jumlah cahaya yang diteruskan atau dipantulkan kembali. Data yang dihasilkan oleh instrumen ini lebih objektif, akurat, dan dapat diandalkan dibandingkan penilaian subjektif mata manusia.

Pengukuran opasitas yang akurat memiliki implikasi penting dalam berbagai aspek. Pertama, data opasitas digunakan oleh industri untuk memastikan kepatuhan terhadap standar emisi yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020 untuk PLTD dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 untuk industri secara umum. Pelanggaran terhadap standar emisi dapat berujung pada sanksi administratif, bahkan penutupan operasional.

Data opasitas yang akurat memungkinkan evaluasi yang lebih baik terhadap efektivitas alat pengendali pencemaran udara yang dipasang di industri. Dengan mengetahui tingkat opasitas asap secara presisi, pihak industri dapat mengidentifikasi potensi masalah pada sistem pengendalian pencemaran dan melakukan perbaikan yang diperlukan.

Pengukuran opasitas yang akurat berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Tingkat opasitas asap berkorelasi dengan konsentrasi partikulat polutan di udara, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari iritasi saluran pernapasan hingga penyakit kardiovaskular.

Meskipun pengamatan visual memberikan gambaran awal tentang kondisi asap yang dikeluarkan oleh cerobong industri, keterbatasannya menuntut penggunaan instrumen pengukur opasitas yang lebih akurat dan objektif. Data opasitas yang valid merupakan fondasi bagi upaya pengendalian pencemaran udara, penegakan hukum lingkungan, dan perlindungan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, pemantauan opasitas asap cerobong secara terukur dan berkelanjutan menjadi keharusan bagi setiap industri yang bertanggung jawab.

Pemantauan Emisi: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Pemantauan Emisi: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Pentingnya pemantauan emisi dalam industri menuntut pemilihan metode yang tepat untuk menghasilkan data yang akurat dan dapat diandalkan. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan dua metode utama pemantauan emisi secara manual, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik.

Metode Manual: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Dalam melakukan pemantauan emisi secara manual, terdapat dua pendekatan utama yang dapat diambil, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik. Penggunaan metode pemantauan emisi sampling isokinetik dan non-isokinetik sangat tergantung pada jenis emisi yang sedang diamati. Sampling isokinetik untuk emisi partikulat sedangkan sampling non-isokinetik untuk emisi gas.

  1. Sampling Isokinetik

Tujuannya untuk mendapatkan sampel yang representatif. Sampling Isokinetik yaitu sampling sedemikian rupa sehingga kecepatan dan arah gas masuk ke dalam nosel alat sampling adalah sama dengan kecepatan dan arah gas dalam cerobong (pada titik sampling yang sama). Kriteria kecepatan / tingkat sampel untuk metode isokinetik adalah 90 – 110%

Sebagai contoh, pada kasus emisi partikulat, sampling isokinetik menjadi pilihan yang umum digunakan. Sampling isokinetik bertujuan untuk mengambil sampel yang representatif dengan mengantisipasi akumulasi partikulat di sisi cerobong. Hal ini penting untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mencerminkan kondisi sebenarnya dari emisi partikulat. Pengukuran kecepatan gas dilakukan dengan menggunakan alat Pitot Manometer, yang menjadi instrumen kunci dalam metode isokinetik.

Tingkat toleransi dalam metode isokinetik berada dalam rentang 90-110%, yang dianggap sebagai tingkat kecepatan yang sesuai. Proses ini bergantung pada ukuran cerobong dan jumlah sampel yang diambil. Dengan demikian, metode isokinetik memberikan keakuratan yang tinggi dalam mengukur emisi partikulat, yang seringkali menjadi fokus utama dalam pemantauan emisi industri.

  1. Sampling Non-Isokinetik

Sampling non-isokinetik digunakan untuk menangkap gas polutan dari cerobong seperti halides, Ammonia, Hidrogen sulfide. Sifat gas yang homogen, pengambilan sampling tidak mengikuti pengambilan sampling traverse point pada metoda isokinetik.

Dalam konteks pengembangan teknik sampling non-isokinetik, metode USEPA menjadi acuan utama. Beberapa metode USEPA yang relevan termasuk method 4, 6, 11, 18, 26, VOST, Methods 0030, dan 0031. Penggunaan metode-metode ini memberikan kerangka kerja yang terstandarisasi dan diakui secara luas dalam industri pemantauan emisi.

Penggunaan absorben yang spesifik menjadi kunci dalam teknik non-isokinetik. Absorben dipilih berdasarkan sifat gas yang akan ditangkap. Penggunaan absorben yang tepat memastikan keefektifan dalam menangkap gas polutan yang spesifik, sehingga hasil sampling menjadi akurat dan representatif.

Perbedaan antara sampling isokinetik dan non-isokinetik terletak pada pendekatan pengambilan sampel. Metoda isokinetik mengikuti pengambilan sampel traverse point, sementara metoda non-isokinetik lebih berfokus pada karakteristik homogen gas polutan.

Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Monitoring emisi dapat dilakukan dengan dua metode utama yaitu manual dan otomatis. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga penting untuk memahami strategi monitoring emisi yang efektif dan efisien. Bagaimana sebenarnya industri memantau emisi yang mereka hasilkan dengan kedua metode tersebut?

Metode Manual

Metode manual dalam pemantauan emisi melibatkan penggunaan alat-alat yang lebih sederhana dan fleksibel. Salah satu contoh metode manual adalah sampling isokinetik, yang digunakan untuk mengukur konsentrasi partikulat dalam cerobong. Alat-alat yang digunakan dalam metode manual harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dan dilakukan oleh laboratorium yang sudah memiliki identitas registrasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam hal ini, pelaku harus memiliki sertifikat yang menunjukkan kualifikasi dan keahlian dalam melakukan pengukuran emisi. Begitu pula di laboratorium, orang yang melakukan pemeriksaan harus bersertifikasi. Proses monitoring emisi ini harus dilakukan dengan sangat ketat dan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan.

SNI dalam Pemantauan Emisi

SNI menjadi landasan utama dalam setiap prosedur monitoring. Untuk sumber tidak bergerak, terdapat 31 SNI yang berkaitan dengan pemantauan emisi. Sedangkan untuk sumber bergerak, jumlahnya lebih sedikit, yaitu 4 SNI. Begitu juga untuk udara ambien, terdapat 27 SNI yang memberikan pedoman terkait pemantauan kualitas udara.

Peraturan dan Pedoman Teknis dalam Pengelolaan Emisi

Regulasi terkait pengelolaan emisi di industri mengatur berbagai aspek, mulai dari penanggung jawab di industri hingga pelaksanaan pemantauan. Setiap entitas yang terlibat dalam manajemen emisi, termasuk pelaporan dan perencanaan, harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mengacu pada SNI yang berlaku.

Pentingnya SNI juga tercermin dalam pengulangan standar yang diterapkan pada sumber tidak bergerak. Terdapat pula SNI yang mengacu pada metode Amerika (EPA). Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dapat ditemukan dalam Kepmen LH No 205/1996, yang mencakup pengaturan cerobong, lubang sampling, sarana pendukung, dan unit pengendalian.

Metode Manual vs. Otomatis: Penggunaan CEMS

Pemantauan emisi dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Cara otomatis melibatkan penggunaan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS). Sepuluh industri diwajibkan menggunakan CEMS, yang dipasang secara permanen pada cerobong. CEMS memonitor berbagai gas dan mengirimkan hasilnya ke kantor melalui data logger.

Industri yang diwajibkan menggunakan CEMS melibatkan sektor peleburan besi dan baja, kertas, rayon, carbon black, minyak dan gas bumi, pertambangan, pengolahan sampah secara termal, semen, pembangkit listrik tenaga termal, dan pupuk dan ammonium nitrat. Meskipun CEMS memiliki tingkat akurasi tinggi, penggunaannya memerlukan investasi yang cukup besar, dengan harga di atas 1 miliar.

Pengembangan CEMS Sensor

Saat ini, CEMS masih mengandalkan Analyzer dan belum menggunakan Sensor. Namun, pengembangan CEMS Sensor sedang dalam tahap pengembangan oleh pihak regulator. Meskipun demikian, implementasi Sensor dalam CEMS masih memerlukan perhatian lebih lanjut dan belum menjadi standar.

Metode Manual: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Dalam metode manual, pemantauan emisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik. Isokinetik menjadi pilihan ketika pemantauan melibatkan emisi partikulat, isokinetik bertujuan untuk mengambil sampel yang representatif dengan mengantisipasi akumulasi partikulat di sisi cerobong.

Isokinetik melibatkan penggunaan alat Pitot Manometer untuk mengukur kecepatan gas. Tingkat toleransi isokinetik adalah 90-110%, yang dianggap sebagai tingkat kecepatan yang sesuai. Proses ini tergantung pada ukuran cerobong dan jumlah sampel yang diambil.

Dalam melakukan monitoring emisi di industri, penggunaan metode manual dan otomatis memegang peran penting. Metode manual melibatkan pemahaman mendalam terhadap berbagai SNI yang berlaku dan penerapan prosedur yang ketat. Di sisi lain, penggunaan CEMS dalam metode otomatis memberikan keakuratan tinggi, namun dengan biaya yang signifikan.

Perkembangan CEMS Sensor menjadi hal yang menarik untuk dipantau, namun saat ini belum menjadi standar. Dengan pengaturan yang ketat, baik manual maupun otomatis dapat memberikan data yang akurat, mendukung upaya pengelolaan emisi yang berkelanjutan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Konsultan Penyusunan Carbon Footprint Product untuk Sektor Industri Karet

Konsultan Penyusunan Carbon Footprint Product untuk Sektor Industri Karet

Sebelum penemuan karet alam, masyarakat menggunakan bahan alternatif seperti kulit hewan dan serat tanaman untuk berbagai keperluan. Namun, dengan ditemukannya karet alam, masyarakat Indonesia mulai beralih ke penggunaan karet karena sifatnya yang elastis, tahan lama, dan fleksibel. Karet menjadi bahan baku utama dalam banyak produk sehari-hari, contohnya untuk produk seperti ban, sepatu, dan alat medis.Namun, di balik manfaatnya, produk karet juga memiliki dampak lingkungan. Salah satu isu utama adalah emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi hingga pemakaian dan pembuangan produk karet. Penting bagi industri untuk menyadari dan mengelola jejak karbon mereka. Kami akan membahas pentingnya jejak karbon produk karet.

Lensa Lingkungan memahami pentingnya menghitung jejak karbon setiap produk yang dihasilkan oleh industri, termasuk sektor industri karet. Produk jadi industri karet, seperti ban, memiliki dampak lingkungan. Untuk mereduksi dampak ini, langkah pertama yang harus diambil adalah menghitung jejak karbon produk tersebut. Jejak karbon produk adalah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sepanjang siklus hidup produk, mulai dari bahan baku hingga produk jadi, serta proses distribusinya.

Limbah Karet Perlu Puluhan Tahun untuk Terurai

Produk jadi industri karet, seperti ban dapat menghasilkan emisi. Misalnya, satu ban mobil dapat menghasilkan sekitar 100 kg CO2 selama proses produksinya. tidak hanya itu, ban bekas menjadi limbah yang membutuhkan waktu lama untuk terurai. Menurut penelitian, ban kendaraan dapat memerlukan waktu hingga puluhan tahun untuk terurai sepenuhnya. Selama proses ini, ban dapat melepaskan berbagai bahan kimia berbahaya ke lingkungan. Ini menunjukkan bahwa industri karet memiliki jejak karbon yang besar dan perlu segera diatasi. Dengan memahami jejak karbon ini, perusahaan dapat mengidentifikasi “hotspot” emisi dan merumuskan strategi untuk menguranginya.

Emisi dari Produk Karet

Industri karet berkontribusi terhadap berbagai jenis emisi, termasuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oxide (N2O). Emisi ini berasal dari berbagai tahap produksi, seperti pengolahan getah karet, transportasi, dan penggunaan energi dalam proses manufaktur. Dengan melakukan analisis siklus hidup (Life Cycle Assessment/LCA), perusahaan dapat mendapatkan gambaran lengkap tentang emisi yang dihasilkan.

Industri Karet dan Jejak Karbon

Industri karet di Indonesia, khususnya produsen ban, memiliki jejak karbon yang cukup signifikan. Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di sektor ini antara lain:

  1. PT Gajah Tunggal Tbk
  2. PT Multistrada Arah Sarana Tbk
  3. PT Suryaraya Rubberindo Industries
  4. PT Bridgestone Tire Indonesia
  5. PT Goodyear Indonesia Tbk

Perusahaan-perusahaan ini menyadari pentingnya mengurangi jejak karbon mereka dan telah mengambil berbagai langkah untuk mencapai hal tersebut. Misalnya, PT Gajah Tunggal Tbk telah mengadopsi teknologi ramah lingkungan dalam proses produksinya dan meningkatkan efisiensi energi. Sementara itu, PT Bridgestone Tire Indonesia fokus pada penggunaan bahan baku yang lebih berkelanjutan dan daur ulang produk karet.

Manfaat Mengelola Jejak Karbon untuk Pasar Internasional

Mengelola jejak karbon tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan tetapi juga untuk keuntungan bisnis, terutama bagi industri yang ingin meraih pasar ekspor. Banyak negara maju memiliki regulasi ketat terkait emisi karbon dan mewajibkan produk yang diimpor untuk memenuhi standar lingkungan tertentu. Negara-negara seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan terkenal memiliki peraturan yang ketat terkait emisi karbon. Oleh karena itu, perusahaan yang mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki jejak karbon yang rendah akan lebih mudah menembus pasar-pasar tersebut.

Tantangan dan Peluang dalam Mengurangi Jejak Karbon

Mengurangi jejak karbon memang bukan tugas yang mudah, namun dengan strategi yang tepat, ini bisa menjadi peluang besar. Perusahaan perlu berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan, meningkatkan efisiensi energi, dan mengadopsi praktik terbaik dalam pengelolaan limbah. Selain itu, perusahaan juga perlu transparan dalam melaporkan jejak karbon mereka dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kinerja lingkungan. Dengan demikian, mereka tidak hanya membantu melindungi lingkungan tetapi juga meningkatkan daya saing mereka di pasar global.

Lensa Lingkungan: Mitra Anda dalam Mengelola Jejak Karbon

Sebagai perusahaan konsultan penyusunan carbon footprint product, Lensa Lingkungan siap membantu industri karet dalam mengelola jejak karbon mereka. Kami menawarkan layanan penyusunan Carbon Footprint Product yang komprehensif, mulai dari pengukuran emisi, analisis, hingga strategi pengurangan emisi. Dengan pengalaman dan keahlian kami, kami akan membantu Anda mencapai target keberlanjutan dan meraih pasar global yang lebih luas.

Mengelola jejak karbon adalah langkah penting yang harus diambil oleh industri karet untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing mereka di masa depan. Dengan bantuan dari Lensa Lingkungan, perusahaan dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi emisi karbon dan memenuhi standar lingkungan internasional. Kami bekerjasama dengan Actia Carbon yang menyediakan platform perhitungan emsi gas rumah kaca. Klik disini untuk berdiskusi!

Konsultan Pendampingan Pencapaian Net Zero Emission Sektor Industri Karet

Konsultan Pendampingan Pencapaian Net Zero Emission Sektor Industri Karet

Industri karet merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat di Indonesia. Negara ini bahkan menjadi salah satu produsen utama karet dunia. Produk-produk dari karet sangat beragam, mulai dari ban kendaraan, sol sepatu, hingga berbagai peralatan medis seperti sarung tangan dan kateter. Karet juga digunakan dalam berbagai aplikasi industri, termasuk sebagai bahan dasar dalam pembuatan isolator listrik dan peredam getaran. Namun, di balik semua manfaatnya, industri karet juga menyumbang emisi karbon yang cukup tinggi. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui berapa besar emisi yang ditimbulkan oleh industri karet untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) dan meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Net Zero Emission (NZE) Mencegah Kenaikan Suhu

Saat ini permasalahan perubahan iklim semakin mendesak. Net Zero Emission berarti bahwa jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer harus seimbang dengan jumlah emisi yang diserap kembali oleh bumi. Tujuannya adalah untuk mencegah kenaikan suhu global yang dapat mengakibatkan bencana lingkungan, seperti banjir, kekeringan, dan peningkatan permukaan air laut. Industri karet, dengan segala proses produksinya, menjadi salah satu sektor yang diharuskan melakukan upaya untuk mencapai target NZE.

Potensi Penyerapan CO2 Perkebunan Karet

Perkebunan karet memiliki potensi yang sangat besar dalam penyerapan CO2. Di Indonesia, misalnya, perkebunan karet mampu menyerap sekitar 291,16 juta ton CO2 per tahun. Produksi karet alam dunia diperkirakan mencapai sekitar 13 juta ton per tahun. Penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet dapat menyerap antara 7 hingga 32 ton CO2 per hektar per tahun, tergantung pada kondisi spesifik. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri karet juga menghasilkan emisi yang signifikan, terutama dari proses produksi dan pengolahan.

Meskipun tanaman karet dapat menyerap CO2, emisi yang dihasilkan selama proses produksi dapat mengurangi manfaat lingkungan dari penyerapan karbon tersebut. Limbah dari produk karet juga memerlukan waktu yang lama untuk terurai, yang dapat menyebabkan akumulasi polusi di lingkungan.

Dampak Lingkungan dari Industri Karet

Proses produksi karet menghasilkan berbagai jenis limbah dan emisi yang dapat merusak lingkungan. Salah satu masalah utama adalah emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan baku dan proses manufaktur. Satu studi mencatat bahwa emisi karbon dari tanaman karet bisa mencapai 2,3 ton CO2 per tanaman atau sekitar 920 ton CO2 per hektar. Limbah karet juga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai, yang dapat mencapai puluhan hingga ratusan tahun. Selain itu, proses produksi karet seringkali melibatkan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah dan air.

Target Net Zero Emission dan Hubungannya dengan Industri Karet

Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060. Untuk mencapai target ini, diperlukan penurunan emisi di berbagai sektor, termasuk industri karet. Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia perlu menurunkan emisi sebesar 29% secara nasional dan 41% dengan bantuan internasional untuk mencapai target ini. Industri karet harus berperan aktif dalam upaya ini dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan praktik produksi berkelanjutan.

Proses Kegiatan Industri Karet

Proses produksi karet melibatkan beberapa tahap, mulai dari penanaman pohon karet, penyadapan lateks, pengolahan lateks menjadi karet mentah, hingga proses manufaktur menjadi produk jadi. Setiap tahap ini menghasilkan emisi yang perlu dikurangi. Misalnya, proses penyadapan dan pengolahan lateks memerlukan energi yang cukup besar, yang seringkali berasal dari sumber energi fosil. Selain itu, proses vulkanisasi karet juga menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Perusahaan Sektor Industri Karet

  1. PT Anugerah Agung Abadi
  2. PT Nasional Bhirawa Tama
  3. PT Indo Java Rubber Planting
  4. PT Bintang Borneo Persada
  5. PT Star Rubber

Langkah Menuju Net Zero Emission untuk Industri Karet

Perusahaan sektor industri karet yang ingin mencapai NZE, perlu mempersiapkan banyak hal. Pertama-tama, perlu adanya peningkatan efisiensi energi dalam proses produksi. Ini bisa dilakukan dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan menggunakan sumber energi terbarukan. Selain itu, perlu juga adanya pengelolaan limbah yang lebih baik untuk mengurangi emisi dari limbah produk karet.

Langkah menuju NZE untuk industri karet tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak, mulai dari produsen, pemerintah, hingga konsumen. Salah satu cara efektif untuk mencapai NZE adalah dengan mendapat pendampingan dari ahli yang berpengalaman di bidang ini. Lensa Lingkungan menyediakan jasa pendampingan pencapaian Net Zero Emission untuk sektor industri karet, membantu perusahaan dalam mengidentifikasi dan mengimplementasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai NZE.

Lalu, Mengapa Industri Karet Memerlukan Pendampingan Pencapaian Net Zero Emission?

Perusahaan sektor industri karet yang ingin mencapai NZE perlu melakukan berbagai langkah, mulai dari pengurangan emisi dalam proses produksi, peningkatan efisiensi energi, hingga pengelolaan limbah yang lebih baik. Salah satu langkah penting adalah penggunaan teknologi ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan. Selain itu, perlu juga adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan karyawan dalam upaya pengurangan emisi.

Perlu diingat, pencapaian NZE bukan hanya tentang mengurangi emisi karbon, tetapi juga tentang mengubah seluruh proses bisnis dan operasional. Ini bisa mencakup perubahan dalam rantai pasokan, desain produk, hingga pengelolaan limbah. Dengan jasa pendampingan, perusahaan dapat mendapatkan panduan dan solusi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan Anda untuk menghadapi tantangan ini.

Konsultasi dengan Lensa Lingkungan

Jika Anda bergerak di sektor industri karet dan ingin mencapai Net Zero Emission, Lensa Lingkungan siap membantu Anda. Kami menawarkan berbagai layanan pendampingan. Kami juga dapat membantu perusahaan Anda untuk menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) menggunakan platform penghitungan Gas Rumah Kaca (GRK) yang disedikan oleh Actia Carbon. Untuk informasi lebih lanjut, mari berkonsultasi dengan kami.

Konsultan Pendampingan PROPER Sektor Industri Remilling Karet

Konsultan Pendampingan PROPER Sektor Industri Remilling Karet

Remilling karet merupakan proses pengolahan karet yang dilakukan dengan cara menggiling karet untuk menghasilkan produk dalam bentuk lembaran, seperti sheet (lembaran karet halus) dan crepe (lembaran karet yang berkeriput). Sektor industri ini diatur oleh Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan kode 22122.

Metode Tradisonal Pengolahan Karet

Karet alam, yang berasal dari getah pohon karet (Hevea brasiliensis), pertama kali diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 1864 oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari ekspansi pertanian komoditas baru untuk meningkatkan perekonomian. Pada awalnya, karet digunakan dalam bentuk mentah dan diolah secara sederhana oleh petani lokal. Petani akan menyadap pohon karet untuk mengambil getahnya, yang kemudian dikumpulkan dan diproses menjadi lembaran karet dengan cara direbus atau dikeringkan di bawah sinar matahari. Proses ini sering kali menghasilkan produk dengan kualitas yang bervariasi

Metode tradisional ini memiliki banyak kekurangan, seperti kurangnya efisiensi dan kualitas produk yang tidak konsisten. Seiring dengan perkembangan teknologi, metode ini telah ditinggalkan dan digantikan oleh proses industri yang lebih modern, salah satunya adalah industri remilling karet.

Kehadiran Industri Remilling Karet

Sebagai salah satu solusi untuk mengatasi berbagai kekurangan dalam metode pengolahan karet tradisional. Industri remilling karet di Indonesia mencakup pengolahan karet yang digiling untuk menghasilkan produk dalam bentuk lembaran, seperti sheet dan crepe. Industri ini melibatkan berbagai tahap pengolahan, mulai dari pengumpulan dan pemurnian bahan baku, penggilingan, hingga proses vulkanisasi untuk menghasilkan produk akhir yang siap digunakan.

Namun dengan adanya kemajuan ini, muncul pula tantangan baru dalam hal dampak lingkungan. Proses produksi karet yang melibatkan berbagai bahan kimia dan energi memiliki potensi untuk merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Inilah mengapa industri remilling karet memerlukan jasa pendampingan PROPER.

Kerusakan Lingkungan yang Ditimbulkan Industri Karet

Industri karet, termasuk remilling karet, dapat menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Contohnya, limbah cair dari proses pengolahan karet, yang tidak diolah dengan baik, telah menyebabkan kematian ikan dan membusuknya sungai-sungai. Banyaknya penggunaan bahan kimia dalam proses ini juga meninggalkan residu yang berpotensi sebagai polutan lingkungan. Selain itu, limbah cair ini juga dapat meningkatkan kadar COD dan TSS di lingkungan sekitar, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas air dan tanah. Oleh karena itu, penting bagi industri karet untuk meningkatkan teknologi pengolahan limbah dan mengimplementasikan praktek-praktek lingkungan yang lebih ramah, seperti fitoremediasi, untuk mengurangi dampak negatif ini dan menjaga kelestarian lingkungan.

Alasan Industri Karet Memerlukan Jasa Pendampingan PROPER

Jasa Pendampingan PROPER sangat diperlukan oleh industri remilling karet untuk memastikan bahwa mereka dapat beroperasi dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) adalah program yang dirancang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia agar mengelola dampak lingkungannya dengan lebih baik.

Perusahaan Sektor Industri Karet di Indonesia

  1. PT Tirta Sari Surya
  2. PT Anugerah Agung Abadi
  3. PT ADEI Crumb Rubber Industry
  4. PT Nusa Alam Rubber
  5. PT Raberindo Pratama

Kriteria Penilaian PROPER

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertujuan untuk mengevaluasi kinerja lingkungan perusahaan, termasuk industri remilling karet.

Kriteria penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) dibagi menjadi dua kategori utama yaitu Kriteria Penilaian Ketaatan dan Kriteria Beyond Compliance.

Kriteria Penilaian Ketaatan PROPER

Jawab pertanyaan sederhana ini, ”apakah perusahaan anda taat terhadap peraturan lingkungan hidup yang berlaku?”, dalam PROPER kriteria ini dinilai dari kepatuhan perusahaan terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa aspek yang dinilai meliputi:

  1. Persyaratan Dokumen Lingkungan dan Pelaporannya: Perusahaan harus memiliki dokumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Kualitas Lingkungan (UKL/UPL).
  2. Pengendalian Pencemaran Air: Memastikan pembuangan limbah cair tidak melebihi baku mutu yang ditetapkan dan memiliki izin pembuangan.
  3. Pengendalian Pencemaran Udara: Mematuhi standar emisi udara yang berlaku.
  4. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3): Mengelola limbah B3 sesuai dengan peraturan yang ada.
  5. Pengendalian Pencemaran Air Laut: Memastikan bahwa aktivitas tidak mencemari perairan laut.
  6. Potensi Kerusakan Lahan: Menilai dampak kegiatan perusahaan terhadap kerusakan lahan

Kriteria Beyond Compliance PROPER

Pada penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) kriteria Beyond Compliance berfokus pada aspek-aspek yang menunjukkan komitmen perusahaan untuk melampaui kepatuhan minimum terhadap peraturan lingkungan. Kriteria ini bersifat dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi serta isu-isu lingkungan global. Penyusunannya melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, asosiasi industri, LSM, dan universitas.

Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML)

Salah satu aspek yang dinilai dalam kriteria Beyond Compliance adalah penerapan sistem manajemen lingkungan, yang mencakup bagaimana perusahaan mengelola dampak lingkungan dan mempengaruhi pemasok serta konsumen untuk menerapkan praktik pengelolaan yang baik.

Upaya Efisiensi Energi dan Penurunan Emisi

Perusahaan juga dinilai berdasarkan upaya efisiensi energi, yang meliputi peningkatan efisiensi dalam proses produksi, penggunaan mesin ramah lingkungan, serta efisiensi bangunan dan transportasi. Selain itu, fokus pada penurunan emisi menjadi penting, di mana perusahaan diharapkan mengurangi emisi polutan dan gas rumah kaca serta menggunakan energi terbarukan.

Prinsip 3R

Implementasi prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) juga menjadi bagian dari penilaian. Perusahaan dinilai berdasarkan upayanya untuk mengurangi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah padat non-B3. Semakin banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi dan memanfaatkan kembali limbah, semakin tinggi nilai yang diperoleh.

Konservasi Air dan Penurunan Beban Pencemaran Air Limbah

Aspek lain yang dinilai adalah konservasi air dan penurunan beban pencemaran air limbah, serta perlindungan keanekaragaman hayati. Perusahaan harus memiliki sistem informasi untuk mengevaluasi status sumber daya biologis yang dikelola.

Program Pengembangan Masyarakat

Terakhir, program pengembangan masyarakat menjadi penting, di mana perusahaan harus memiliki strategi yang dirancang berdasarkan pemetaan sosial untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan kelompok rentan.

Secara keseluruhan, kriteria Beyond Compliance mendorong perusahaan untuk memenuhi kewajiban hukum dan aktif berkontribusi positif terhadap lingkungan serta masyarakat di sekitarnya.

Prinsip-Prinsip PROPER

Ada beberapa prinsip utama yang diusung oleh program PROPER, antara lain:

  1. Pencegahan Pencemaran: Perusahaan harus mengimplementasikan langkah-langkah untuk mencegah pencemaran lingkungan dari aktivitas produksi mereka.
  2. Pengelolaan Limbah: Perusahaan harus memiliki sistem pengelolaan limbah yang efektif, termasuk pengolahan air limbah dan pengelolaan limbah padat.
  3. Efisiensi Energi: Perusahaan harus mengoptimalkan penggunaan energi untuk mengurangi jejak karbon dan efisiensi biaya.
  4. Pengelolaan Sumber Daya: Perusahaan harus mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, termasuk penggunaan air dan bahan baku.
  5. Keterlibatan Masyarakat: Perusahaan harus melibatkan masyarakat sekitar dalam upaya pelestarian lingkungan dan menjalin komunikasi yang baik dengan mereka.

Meraih PROPER KLHK

Jadi, untuk meraih peringkat PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perusahaan harus memenuhi sejumlah kriteria yang telah ditetapkan. Proses ini melibatkan audit lingkungan secara berkala, pelaporan transparansi mengenai dampak lingkungan, serta implementasi program-program keberlanjutan yang nyata. Perusahaan harus menunjukkan komitmen mereka terhadap pengelolaan lingkungan melalui tindakan nyata dan hasil yang terukur. Klik disini dan dapatkan pendampingan untuk meraih PROPER!

Sebagai tambahan informasi, kami juga bisa membantu perusahaan Anda untuk menghitung emisi gas rumah kaca (GRK).  Kami bekerja sama dengan penyedia platform penghitungan Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu Actia Carbon.

 

 

 

Konsultan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Industri Karet Remah

Konsultan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Industri Karet Remah

Karet remah (crumb rubber) merupakan produk karet alam yang dihasilkan dari getah batang pohon karet (Hevea Brasiliensis) secara mekanis dengan atau tanpa penggunaan bahan kimia. Produk ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari bahan baku untuk ban kendaraan hingga campuran untuk aspal dan produk-produk karet lainnya. Meski sangat bermanfaat, proses pengolahan karet memerlukan energi dan bahan kimia yang signifikan, yang pada gilirannya berdampak terhadap lingkungan, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca (GRK).

Proses Kegiatan Industri Karet Remah

  1. Industri karet melibatkan beberapa proses utama, antara lain penyadapan, koagulasi dan pengasaman, penggilingan dan pengeringan, pemurnian dan vulkanisasi, serta pencetakan dan pembentukan. Tiap proses ini memerlukan energi dan bahan kimia yang berbeda, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang bervariasi.
  2. Proses Penyadapan adalah pengumpulan getah dari pohon karet. Getah ini disebut lateks, yang merupakan cairan yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Lateks belum mengalami penggumpalan dan masih dalam bentuk cairan yang selanjutnya dapat diolah.
  3. Proses Koagulasi dan pengasaman adalah proses kimia untuk mengubah lateks menjadi padatan. Setelah penyadapan, lateks perlu diubah menjadi padatan melalui proses koagulasi dan pengasaman. Koagulasi adalah proses yang menggunakan bahan kimia untuk mengubah lateks menjadi bekuan, sedangkan pengasaman adalah proses pengeringan dan pengasaman yang dilakukan untuk menghilangkan air dan bahan kimia lainnya dari karet.
  4. Proses Penggilingan dan pengeringan dilakukan untuk menipiskan bekuan lateks dan menghilangkan air serta bahan kimia lainnya. Penggilingan menggunakan mesin seperti mesin macerator/crepper untuk menggiling cacah karet menjadi lembaran blenket dengan ketebalan tertentu. Pengeringan dilakukan melalui ruang pengasapan untuk mengeringkan lembaran-lembaran sheet karet.
  5. Proses Pemurnian dan vulkanisasi mengolah karet untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan. Pemurnian melibatkan proses pembersihan dan penggolongan untuk menghilangkan kotoran dan bahan tambahan yang tidak diperlukan. Vulkanisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan untuk mengubah karet menjadi lebih elastis dan kuat, sehingga dapat digunakan dalam berbagai aplikasi.
  6. Langkah terakhir, pencetakan dan pembentukan mengubah karet menjadi produk jadi. Pencetakan melibatkan proses pembentukan karet menjadi produk jadi seperti ban mobil, sol sepatu, dan peralatan rumah tangga lainnya. Pembentukan ini melibatkan penggunaan mesin dan peralatan yang canggih untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Emisi yang Dihasilkan dari Proses Produksi Karet Remah

Proses produksi karet, terutama dalam industri karet remah, menghasilkan beberapa jenis emisi. Beberapa di antaranya termasuk emisi GRK seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Selain itu, terdapat pula emisi gas amoniak (NH3) dan bau amoniak yang dihasilkan selama proses produksi. Emisi-emisi ini berdampak terhadap perubahan iklim dan kualitas udara.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi emisi GRK yang dihasilkan dari proses produksi karet remah, beberapa upaya dapat dilakukan.

  1. Melakukan optimasi dalam proses produksi untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan energi dengan menggunakan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
  2. Menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan dan memiliki indeks emisi yang rendah, seperti bahan organik yang dapat mengurangi emisi CO2.
  3. Melakukan pengelolaan limbah yang baik untuk mengurangi emisi gas amoniak dan bau amoniak dengan menggunakan teknologi pengolahan limbah yang efektif.
  4. Melakukan pengawasan dan monitoring emisi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat emisi yang dihasilkan. Perusahaan dapat menggunakan platform penghitungan emisi GRK untuk monitoring emisi secara real-time, mengevaluasi kinerja, dan membantu dalam pengembangan strategi pengurangan emisi yang lebih efektif.

Memperkecil Dampak Negatif Industri Karet Remah terhadap Lingkungan

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak negatif industri karet terhadap lingkungan. Pertama, efisiensi energi dapat dicapai dengan menggunakan teknologi yang lebih efisien untuk mengurangi konsumsi energi. Penggunaan energi terbarukan juga bisa menjadi solusi dengan mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan. Selain itu, pengelolaan limbah yang lebih baik bisa membantu mengurangi emisi metana. Mengembangkan proses produksi yang lebih ramah lingkungan dan melakukan reforestasi dengan menanam pohon untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer juga bisa menjadi langkah yang efektif.

Perusahaan di Sektor Industri Karet Remah

Berikut adalah beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri karet remah di Indonesia yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca:

  1. PT Anugerah Agung Abadi
  2. PT P&P Bangkinang
  3. PT Guangken Rubber Pnk-Ina
  4. PT Nusantara Batulicin
  5. PT Kirana Megatara Tbk

Bagaimana Lensa Lingkungan Dapat Membantu Industri Karet Remah

Lensa Lingkungan memiliki keahlian dan pengalaman dalam menginventarisasi emisi gas rumah kaca di berbagai industri, termasuk industri karet. Kami menawarkan layanan konsultasi dan solusi yang disesuaikan untuk membantu perusahaan dalam mengidentifikasi sumber emisi, mengukur emisi secara akurat, dan mengembangkan strategi untuk mengurangi emisi tersebut. Dengan menggunakan platform penghitungan gas rumah kaca yang canggih, kami dapat memberikan laporan yang detail dan rekomendasi yang tepat.

Kami juga bekerja sama dengan Actia Carbon untuk menyediakan platform penghitungan Gas Rumah Kaca yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengukur dan mengelola emisi mereka dengan lebih efektif. Klik disini agar terhubung dengan tim kami!

 

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?