logo lensa lingkungan
Mengapa Baku Mutu Emisi PLTU di Indonesia Penting?

Mengapa Baku Mutu Emisi PLTU di Indonesia Penting?

PLTU di Indonesia hingga kini masih mengandalkan batubara sebagai bahan bakar utama. Dua alasan mendasar mengapa batubara begitu dominan adalah: ketersediaannya yang melimpah di Indonesia dan harganya yang jauh lebih terjangkau dibandingkan sumber energi lain.

Sebagai negara kepulauan yang berkembang pesat, Indonesia terus mengalami peningkatan kebutuhan listrik yang signifikan. Dalam konteks ini, batubara memang menawarkan solusi yang praktis dan ekonomis untuk memenuhi permintaan energi yang besar. Namun, PLTU batubara berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca dan polusi udara.

Bagaimana Batubara Menghasillkan Energi Termal untuk PLTU?

Proses operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada prinsipnya memanfaatkan pembakaran batubara sebagai sumber energi utama. Batubara yang dibakar menghasilkan energi termal. Energi ini selanjutnya digunakan untuk memanaskan air dalam suatu sistem tertutup hingga menghasilkan uap bertekanan dan bertemperatur tinggi, atau yang dikenal sebagai uap super panas. Uap super panas ini kemudian dialirkan untuk memutar turbin. Turbin merupakan mesin konversi energi yang mengubah energi termal uap menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran. Turbin ini terhubung secara mekanis dengan generator. Generator, sebagai perangkat elektromekanis, mengubah energi mekanik putaran turbin menjadi energi listrik melalui prinsip induksi elektromagnetik. Uap yang telah melewati turbin dan melepaskan energinya, kemudian dikondensasikan kembali menjadi air. Air kondensat ini selanjutnya dikembalikan ke sistem untuk diproses ulang menjadi uap, sehingga membentuk suatu siklus tertutup yang efisien.

PLTU batubara masih menjadi andalan karena dianggap bisa menghasilkan listrik dalam jumlah besar dan cukup stabil. PLTU batubara berpotensi menghasilkan polusi. Beberapa polutan utama yang dihasilkan adalah debu, gas sulfur dioksida (SO2), gas nitrogen oksida (NOx), gas karbon dioksida (CO2), serta sedikit logam berat dan abu batubara. Polutan ini bisa berdampak ke kualitas udara, lingkungan, dan kesehatan.

Pemerintah Indonesia menyadari hal ini, dan telah membuat peraturan untuk menjaga agar PLTU beroperasi dengan lebih bersih. Salah satu peraturan penting adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 15 Tahun 2019. Peraturan ini menetapkan batasan jelas untuk zat-zat yang boleh dikeluarkan PLTU ke udara, atau yang disebut baku mutu emisi.

Apa Saja yang Diukur dalam Baku Mutu Emisi PLTU?

Permen LHK No. 15 Tahun 2019 mengatur beberapa jenis zat yang umum dihasilkan PLTU dan bisa berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Zat-zat utama tersebut adalah:

  1. Sulfur Dioksida (SO2): Gas ini muncul dari pembakaran bahan bakar seperti batubara dan minyak yang mengandung sulfur. SO2 bisa mengganggu pernapasan dan menyebabkan hujan asam.
  2. Nitrogen Oksida (NOx): Gas ini terbentuk saat pembakaran pada suhu tinggi. NOx juga bisa menyebabkan masalah pernapasan dan kabut asap.
  3. Partikulat (PM): Ini adalah butiran-butiran kecil yang keluar dari proses pembakaran. PM sangat berbahaya karena bisa masuk ke paru-paru dan menyebabkan berbagai penyakit.
  4. Merkuri (Hg): Merkuri adalah logam berat yang sangat beracun. Merkuri bisa mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan jika masuk ke tubuh manusia melalui makanan, terutama ikan.

Standar Baku Mutu Emisi untuk PLTU di Indonesia

Permen LHK No. 15 Tahun 2019 membagi standar baku mutu emisi PLTU berdasarkan kapan PLTU itu dibangun. Ada standar untuk PLTU yang sudah ada sebelum peraturan ini berlaku, dan ada standar yang lebih ketat untuk PLTU yang dibangun setelah peraturan ini berlaku. Perbedaan ini dibuat karena teknologi PLTU terus berkembang dan PLTU baru diharapkan bisa lebih bersih.

A. Standar untuk PLTU Lama (Dibangun Sebelum Permen LHK No. 15 Tahun 2019)

Berikut adalah batasan kadar maksimum emisi untuk PLTU yang sudah beroperasi sebelum Permen LHK No. 15 Tahun 2019 (dalam miligram per meter kubik normal atau mg/Nm³):

No.ParameterBatubara (mg/Nm³)Minyak Solar (mg/Nm³)Gas (mg/Nm³)
1Sulfur Dioksida (SO2)

550

650

50

2Nitrogen Oksida (NOx)

550

450

320

3Partikulat (PM)

100

75

30

4Merkuri (Hg)

0,03

 

B. Standar untuk PLTU Baru (Dibangun Setelah Permen LHK No. 15 Tahun 2019)

Berbeda dari  sebelumnya, untuk PLTU yang dibangun setelah Permen LHK No. 15 Tahun 2019 berlaku, standarnya lebih rendah dan lebih ketat (dalam mg/Nm³):

No.ParameterBatubara (mg/Nm³)Minyak Solar (mg/Nm³)Gas (mg/Nm³)
1Sulfur Dioksida (SO2)20035025
2Nitrogen Oksida (NOx)200250100
3Partikulat (PM)503010
4Merkuri (Hg)0,03

Dari tabel di atas, terlihat bahwa standar untuk PLTU baru jauh lebih rendah, terutama untuk SO2, NOx, dan PM. Ini menunjukkan bahwa peraturan baru ini mendorong PLTU untuk menggunakan teknologi yang lebih bersih dan mengurangi pencemaran udara.

Mengapa Baku Mutu Emisi Itu Penting?

Mengikuti baku mutu emisi PLTU sangat penting karena beberapa alasan mendasar yang saling berkaitan. Ini bukan hanya soal memenuhi aturan di atas kertas, tetapi lebih jauh dari itu, ini menyangkut kualitas hidup kita, kelestarian lingkungan, dan masa depan pembangunan yang berkelanjutan.

Bayangkan jika PLTU dibiarkan mengeluarkan asap dan polusi tanpa kendali. Udara di sekitar kita pasti akan tercemar oleh berbagai zat berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat (PM). Zat-zat ini, jika terhirup dalam jangka panjang, dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius. Mulai dari iritasi pada saluran pernapasan, penyakit paru-paru kronis, asma, hingga penyakit jantung dan pembuluh darah. Kelompok yang paling rentan terkena dampaknya adalah anak-anak, orang tua, dan mereka yang sudah memiliki riwayat penyakit pernapasan.

Baku mutu emisi juga membantu menjaga lingkungan dari kerusakan akibat polusi udara. Misalnya, mengurangi hujan asam dan pencemaran merkuri yang bisa merusak ekosistem. Dengan mengontrol emisi PLTU, kita bisa mendapatkan energi listrik yang dibutuhkan tanpa terlalu merusak lingkungan. Ini penting untuk pembangunan yang berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan menjaga lingkungan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Tentu saja, menerapkan Permen LHK No. 15 Tahun 2019 bukan tanpa tantangan. Perlu pengawasan yang ketat agar semua PLTU mematuhi peraturan. PLTU yang sudah lama beroperasi mungkin perlu investasi lebih untuk memasang teknologi pengendalian emisi yang lebih baik.

Namun, ada harapan besar ke depan. Semakin banyak orang sadar akan pentingnya energi bersih. Pemerintah juga terus mendorong pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Dengan waktu, diharapkan PLTU di Indonesia akan semakin bersih dan efisien, sehingga kita bisa mendapatkan listrik yang cukup sambil menjaga udara tetap bersih dan sehat untuk semua.

Adanya baku mutu emisi yang jelas, diharapkan PLTU bisa beroperasi dengan lebih bertanggung jawab dan menjaga kualitas udara. Kepatuhan terhadap peraturan ini, bersama dengan dukungan teknologi dan kesadaran semua pihak, akan sangat membantu Indonesia mencapai udara yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih sehat.

 

Standar Emisi PLTU Batubara di Indonesia

Isu lingkungan hidup semakin menjadi perhatian utama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu sumber polusi udara yang menjadi sorotan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Sebagai negara yang masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi utama, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan energi dengan perlindungan lingkungan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Peraturan ini bertujuan untuk mengendalikan emisi dari pembangkit listrik tenaga termal yang termasuk di dalamnya yaitu PLTU batubara, yang menghasilkan polutan seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat (PM). Namun, apakah peraturan ini sudah cukup efektif? Mari kita telaah lebih lanjut.

Emisi

Baku Mutu Emisi PLTU Berbeda?

Permen LHK No. P.15/2019 menetapkan ambang batas emisi SO2, NOx, dan PM yang boleh dikeluarkan oleh PLTU batubara. Yang menarik, peraturan ini membedakan PLTU menjadi dua kategori:

  1. PLTU yang sudah beroperasi sebelum peraturan ini berlaku: Kategori ini mendapatkan standar emisi yang lebih longgar.
  2. PLTU yang mulai beroperasi setelah peraturan ini berlaku: Kategori ini harus memenuhi standar emisi yang lebih ketat.

Perbedaan tersebut menurut pemerintah, mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomi. PLTU yang sudah lama beroperasi dianggap lebih sulit dan memerlukan biaya besar untuk menyesuaikan diri dengan standar yang lebih ketat.

Mengapa Standar Emisi PLTU yang Ada Perlu Ditinjau Ulang?

Meskipun Permen LHK No. P.15/2019 merupakan sebuah langkah maju, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan (yang notabene merupakan investor utama PLTU batubara di Indonesia), standar emisi kita masih jauh lebih rendah. Sebagai contoh, untuk SO2, standar emisi PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia bisa mencapai 15 kali lebih rendah daripada standar di Tiongkok. Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa negara-negara investor tersebut menerapkan standar yang berbeda di negara asal mereka dan di Indonesia?

Mayoritas PLTU batubara di Indonesia (sekitar 75%) termasuk dalam kategori yang sudah beroperasi sebelum peraturan ini berlaku. Ini berarti sebagian besar PLTU masih beroperasi dengan standar emisi yang longgar. Akibatnya, perbaikan kualitas udara yang diharapkan dari peraturan ini menjadi sangat terbatas.

Definisi “dibangun” dalam peraturan ini ternyata menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Apakah “dibangun” berarti saat perjanjian jual beli listrik ditandatangani? Atau saat izin lingkungan diperoleh? Atau saat konstruksi fisik dimulai? Perbedaan interpretasi ini sangat penting, karena akan menentukan berapa banyak PLTU yang masuk kategori standar longgar dan berapa banyak yang masuk kategori standar lebih ketat.

Peraturan ini juga dinilai kurang dalam hal transparansi data emisi dan mekanisme penegakan hukum. Masyarakat perlu mengetahui seberapa besar emisi yang dihasilkan oleh masing-masing PLTU dan bagaimana pemerintah memastikan kepatuhan terhadap peraturan.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Menghadapi persoalan emisi dari PLTU batubara ini, kita perlu langkah-langkah nyata dan terarah. Yang paling utama adalah soal keterbukaan data. Pemerintah harus membuka pintu informasi selebar-lebarnya agar publik bisa ikut mengawasi data emisi dari semua PLTU batubara di Indonesia. Ini bukan sekadar soal pengawasan, tapi juga soal tanggung jawab pemerintah dalam mengelola masalah lingkungan.

Berikutnya, yang tak kalah penting adalah meninjau ulang standar emisi yang ada. Standar yang sekarang berlaku, terutama untuk PLTU yang “lebih tua” (yang beroperasi sebelum aturan baru keluar), rasanya masih terlalu longgar. Jadi, perlu dikaji lagi dan diperketat. Nah, dalam proses ini, pemerintah sebaiknya mengajak organisasi-organisasi masyarakat dan lembaga independen yang memang ahli dan peduli soal lingkungan.

Kita perlu melihat jauh ke depan, yaitu soal transisi energi. Ketergantungan kita pada batubara memang harus mulai dikurangi pelan-pelan. Kita perlu beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya, angin, air, atau panas bumi. Ini bukan hanya ikut-ikutan tren dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, tapi juga demi kesehatan kita dan kelestarian lingkungan. Bahkan, laporan terbaru dari badan PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menyarankan agar sebagian besar PLTU batubara sebaiknya sudah dimatikan sebelum 2030.

Selain itu pemerintah harus dapat memperjelas definisi dari kata “dibangun” pada aturan yang berlaku. Ini agar tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam menafsirkan aturan yang sudah dibuat, dan tidak ada pihak yang saling menyalahkan. Yang terakhir, dan sangat penting, adalah soal penegakan aturan. Pemerintah harus memastikan semua aturan yang sudah dibuat, termasuk soal emisi PLTU ini, benar-benar dijalankan.

Peraturan Menteri LHK No. P.15/2019 tentang Baku Mutu Emisi PLTU Batubara adalah langkah awal yang baik, tetapi masih jauh dari cukup. Standar emisi yang longgar, terutama untuk PLTU yang sudah beroperasi, serta perbedaan interpretasi terhadap peraturan, membuat dampak perbaikan kualitas udara menjadi sangat terbatas.

Pemantauan Emisi Pembangkit Listrik Termal (PLTT)

Pemantauan Emisi Pembangkit Listrik Termal (PLTT)

Pembangkit Listrik Termal

Peningkatan kebutuhan energi listrik di Indonesia, sebagian besar masih dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga termal. Emisi gas buang dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas, mengandung polutan yang berbahaya.

Polutan seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat (PM), merkuri (Hg), dan karbon dioksida (CO2) dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari gangguan pernapasan, penyakit jantung, hingga perubahan iklim.

Menyadari ancaman tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespons dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Peraturan ini menetapkan standar baku mutu emisi yang lebih ketat bagi pembangkit listrik tenaga termal dan mendorong penerapan sistem pemantauan yang lebih canggih.

Sistem Pemantauan Emisi Berkelanjutan (CEMS) Pembangkit Listrik Termal

Salah satu poin dalam peraturan ini adalah kewajiban penggunaan Continuous Emission Monitoring System (CEMS). CEMS merupakan sebuah sistem terintegrasi yang dirancang untuk memantau emisi gas buang dari cerobong pembangkit listrik secara real-time dan berkelanjutan. Sistem ini menggunakan sensor dan perangkat lunak khusus untuk mengukur konsentrasi berbagai polutan dan laju alir gas buang.

Data yang dikumpulkan oleh CEMS memberikan gambaran yang akurat dan terkini tentang kinerja pembangkit listrik dalam hal pengendalian emisi. Informasi ini sangat berharga bagi pihak pembangkit listrik untuk mengidentifikasi potensi masalah, melakukan perbaikan proses, dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.

Kriteria Pembangkit Listrik Termal yang Wajib Memasang CEMS

Tidak semua pembangkit listrik tenaga termal diwajibkan untuk memasang CEMS. Peraturan Menteri LHK No. 15/2019 menetapkan kriteria spesifik berdasarkan jenis pembangkit dan kapasitasnya. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan kapasitas 15 Mega Watt (MW) atau lebih harus menggunakan CEMS.

Pembangkit listrik lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga1 Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTSa), kewajiban CEMS berlaku jika kapasitasnya 25 MW atau lebih. Pembangkit dengan kapasitas di bawah 25 MW juga diwajibkan jika menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur di atas 2% dan beroperasi secara terus-menerus.

Parameter Emisi yang Wajib Dipantau dan Dilaporkan

CEMS tidak hanya sekadar alat pemantau, tetapi juga memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap baku mutu emisi. Sistem ini harus mampu mengukur parameter-parameter yang relevan dengan baku mutu yang ditetapkan untuk setiap jenis pembangkit. Selain itu, CEMS juga harus mengukur kadar oksigen (O2) dan laju alir gas buang. Untuk pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara peraturan ini juga mewajibkan pemantauan kadar merkuri (Hg) dan karbondioksida (CO2), dua polutan yang menjadi perhatian khusus karena dampaknya terhadap kesehatan dan perubahan iklim.

Data pemantauan dari CEMS harus dilaporkan secara berkala dalam format yang telah ditentukan. Laporan ini mencakup data rata-rata emisi per jam dan harian, informasi tentang durasi dan tingkat parameter yang diukur, catatan jika terjadi kelebihan baku mutu, serta informasi jika CEMS tidak beroperasi.

Memastikan Kualitas Data

Agar data yang dihasilkan CEMS dapat diandalkan, peraturan ini mewajibkan adanya pengendalian dan jaminan mutu. Ini berarti pembangkit listrik harus memastikan CEMS beroperasi sesuai dengan spesifikasi kinerja yang tertulis dalam manual, semua bagian berfungsi dengan baik, dan dilakukan kalibrasi secara berkala.

Validasi data juga merupakan bagian penting. Data pemantauan CEMS dianggap valid jika data rata-rata harian yang diperoleh mencakup minimal 75% dari hasil pembacaan rata-rata setiap jam.

Prosedur Saat CEMS Mengalami Gangguan

Jika CEMS mengalami kerusakan dan tidak dapat beroperasi, peraturan ini memberikan panduan yang jelas. Dalam rentang waktu 3 bulan hingga 1 tahun setelah kerusakan, pembangkit listrik wajib beralih ke pemantauan emisi secara manual, minimal sekali setiap tiga bulan. Jika CEMS masih belum berfungsi setelah satu tahun, pemantauan manual harus dilakukan lebih sering, yaitu minimal sekali setiap bulan.

Selama CEMS tidak aktif, pembangkit listrik juga diwajibkan untuk mencatat data produksi dan perkembangan perbaikan CEMS secara mandiri.

Kondisi Tidak Normal dan Batas Toleransi Emisi

Operasional pembangkit listrik tidak selalu berjalan mulus, ada kalanya terjadi kondisi tidak normal. Sering terjadi gangguan pasokan listrik eksternal, proses mematikan atau menyalakan pembangkit, atau gangguan pada alat pengendali polusi udara. Dalam kondisi tersebut, peraturan memperbolehkan emisi melebihi baku mutu, tetapi dengan batas toleransi. Kelebihan emisi tidak boleh lebih dari 5% dari data rata-rata harian selama periode pelaporan tiga bulan.

Penerapan CEMS dan ketentuan lain dalam Peraturan Menteri LHK No. 15/2019 merupakan langkah maju dalam upaya mengendalikan emisi dari PLTT. Dengan pemantauan yang lebih ketat dan rinci, diharapkan pembangkit listrik dapat beroperasi lebih efisien, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Pembangkit Listrik Tenaga Termal (PLTT)

Pembangkit Listrik Tenaga Termal (PLTT)

Energi listrik telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat modern. Seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan populasi, ketergantungan kita pada listrik semakin besar. Di Indonesia, pembangkit listrik tenaga termal (PLTT) umumnya menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, untuk menghasilkan energi listrik. Namun, aktivitas pembangkit listrik tenaga termal (PLTT) juga menghasilkan emisi gas buang yang berpotensi mencemari udara. Oleh karena itu, perlu adanya baku mutu emisi PLTT sebagai acuan untuk mengendalikan dan membatasi jumlah emisi yang dilepaskan ke udara.

Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal

Baku mutu emisi adalah standar yang ditetapkan untuk mengatur dan membatasi kadar zat pencemar yang boleh dilepaskan ke udara dari suatu sumber, termasuk PLTT. Tujuannya adalah untuk melindungi kualitas udara sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.

Penerapan baku mutu emisi di Pembangkit Listrik Tenaga Termal (PLTT) menyasar dua sumber utama. Pertama, seluruh proses produksi, mulai dari pembakaran bahan bakar, pembentukan uap, hingga tahapan lain dalam menghasilkan listrik, diawasi dan diatur emisinya. Kedua, sumber emisi dari mesin-mesin penunjang produksi juga tidak luput dari perhatian, mencakup generator diesel dan peralatan transportasi yang mendukung operasional PLTT. Kedua sumber ini sama-sama memiliki potensi menghasilkan emisi yang perlu dikendalikan agar tidak mencemari lingkungan.

Jenis-Jenis Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal (PLTT)

Pembangkit Listrik Tenaga Termal (PLTT)

Pembangkit listrik tenaga termal (PLTT) menggunakan energi panas (termal) untuk menghasilkan listrik. Energi panas tersebut diperoleh dari pembakaran bahan bakar, baik bahan bakar fosil maupun non-fosil.

Jenis-jenis Pembangkit Listrik Tenaga Termal, meliputi:

  1. PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)
  2. PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas)
  3. PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap)
  4. PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel)
  5. PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas)
  6. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi)
  7. PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa)
  8. PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

Emisi yang Dihasilkan

Operasional PLTT menghasilkan berbagai jenis emisi, seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat (PM). Zat-zat buangan ini, jika dilepaskan ke udara tanpa pengendalian yang tepat, dapat berdampak buruk pada kualitas udara dan kesehatan manusia. SO2, misalnya, dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan berkontribusi pada terjadinya hujan asam. NOx juga dapat mengiritasi saluran pernapasan, serta berkontribusi pada pembentukan ozon di permukaan tanah yang berbahaya bagi kesehatan. Sementara itu, partikulat dapat masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan gangguan pernapasan, bahkan penyakit jantung.

Melihat potensi risiko tersebut, pemerintah Indonesia, menetapkan standar tertentu terkait batas maksimum zat pencemar yang boleh dilepaskan oleh pembangkit listrik tenaga termal. Standar ini dikenal sebagai baku mutu emisi. Penetapan baku mutu emisi ini menjadi langkah penting dalam upaya menjaga kualitas udara dan melindungi kesehatan masyarakat dari dampak negatif polusi udara.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 tahun 2019

Baku mutu emisi untuk pembangkit listrik tenaga termal diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Peraturan ini mengatur batas emisi untuk berbagai parameter, termasuk SO2, NOx, PM, dan merkuri (Hg). Batas emisi ini berbeda-beda, bergantung pada jenis bahan bakar yang digunakan (batu bara, bahan bakar minyak, atau gas) dan kapasitas pembangkit listrik.

Secara umum, peraturan tersebut menetapkan standar yang lebih ketat untuk pembangkit listrik baru dibandingkan dengan pembangkit listrik yang sudah beroperasi sebelum peraturan tersebut diberlakukan. Hal ini bertujuan untuk mendorong penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien dalam pembangkitan listrik di masa mendatang.

Teknologi Pengendali Emisi Pembangkit Listrik

Penerapan batas emisi ini menuntut pihak pengelola pembangkit listrik untuk melakukan berbagai upaya pengendalian pencemaran udara. Beberapa teknologi yang umum digunakan antara lain Electrostatic Precipitator (ESP) atau Bag Filter untuk mengurangi emisi partikulat, Flue Gas Desulfurization (FGD) untuk mengurangi emisi SO2, dan Selective Catalytic Reduction (SCR) atau Selective Non-Catalytic Reduction (SNCR) untuk mengurangi emisi NOx.

Selain pemasangan teknologi pengendali emisi, pengelola pembangkit listrik juga diwajibkan untuk melakukan pemantauan emisi secara berkala. Pemantauan ini dilakukan untuk memastikan bahwa emisi yang dilepaskan tetap berada di bawah batas yang ditentukan. Hasil pemantauan ini kemudian dilaporkan kepada KLHK sebagai bentuk pertanggungjawaban dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.

Meskipun aturan sudah ditetapkan, masih diperlukan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Didukung oleh partisipasi aktif masyarakat, untuk memastikan bahwa aturan tersebut benar-benar dijalankan dengan baik. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan evaluasi secara berkala terhadap standar yang berlaku. Seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin tingginya kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup. Standar ini mungkin perlu diperbarui agar tetap relevan dan efektif dalam menjaga kualitas udara.

Upaya untuk mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga termal khususnya yang berbahan bakar batu bara, perlu terus didorong. Pengembangan energi terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air, harus menjadi prioritas. Hal ini tidak hanya akan membantu menjaga kualitas udara, tetapi juga mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

Upaya untuk menjaga kualitas udara adalah tanggung jawab bersama. Penetapan dan penegakan aturan batas emisi pembangkit listrik tenaga termal merupakan langkah penting, tetapi bukan satu-satunya solusi. Diperlukan kerja sama dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, pengelola pembangkit listrik, dan masyarakat, untuk memastikan kita dapat menikmati udara yang bersih dan sehat. Menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan adalah pekerjaan rumah yang perlu terus kita kerjakan bersama. Dengan begitu, kita dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Parameter Penilaian PROPER Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021

Parameter Penilaian PROPER Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021

Pernah mendengar istilah PROPER? Bagi para pelaku bisnis, khususnya yang bergerak di bidang industri, istilah ini tentu sudah tidak asing lagi. PROPER, atau Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, merupakan rapor bagi perusahaan dalam menjaga lingkungan.

PROPER menjadi tolok ukur keseriusan perusahaan dalam mengelola dampak lingkungan dari aktivitasnya. Lebih dari sekadar menilai kepatuhan terhadap aturan, PROPER sebuah dorongan bagi perusahaan untuk terus berbenah dan mencapai standar pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Tapi, apa sebenarnya yang dinilai dalam PROPER ini? Bagaimana parameter penilaian PROPER berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021?

Dua Aspek Utama Penilaian PROPER

Memahami parameter penilaian PROPER, bisa merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021 Pasal 16 ayat 2. Secara garis besar, penilaian PROPER dilakukan terhadap dua aspek utama:

a. Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan

Aspek pertama ini menilai seberapa patuh perusahaan dalam menaati peraturan di bidang lingkungan hidup. Hampir semua industri pasti bersinggungan dengan air, udara, dan menghasilkan limbah. Oleh karena itu, PROPER hadir untuk memastikan bahwa setiap industri mengelola aspek-aspek tersebut dengan baik dan bertanggung jawab.

Delapan poin penting yang menjadi fokus penilaian antara lain:

  1. Pengendalian Pencemaran Air: Bagaimana perusahaan mengelola air limbah dan memastikan tidak mencemari sumber air. Khusus bagi industri yang sangat bergantung pada air, seperti industri air minum dalam kemasan, PROPER juga menilai upaya mereka dalam menjaga kelestarian sumber air.
  2. Pemeliharaan Sumber Air: Upaya perusahaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sumber air yang digunakan, termasuk upaya konservasi dan perlindungan sumber air.
  3. Pengendalian Pencemaran Udara: Setiap industri pasti menghasilkan emisi gas. PROPER menilai seberapa baik perusahaan mengendalikan emisi tersebut agar tidak mencemari udara.
  4. Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun): Pengelolaan limbah B3 harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mencegah dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia.
  5. Pengelolaan Limbah Non-B3: Meskipun tidak seberbahaya limbah B3, limbah non-B3 juga perlu dikelola dengan baik agar tidak mencemari lingkungan.
  6. Pengelolaan B3: Dalam hal pengelolaan, B3 diklasifikasikan menjadi B3 yang dapat dipergunakan, B3 yang dilarang dipergunakan, B3 terbatas dipergunakan
  7. Pengendalian Kerusakan Lahan: Industri seperti pertambangan yang menggunakan lahan dalam skala besar, wajib menjaga dan memulihkan lahan agar tidak terjadi kerusakan.
  8. Pengelolaan Sampah: Perusahaan harus memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik, mulai dari pemilahan, pengurangan, hingga pengolahan sampah.

Mari kita lihat contoh pada poin pertama, yaitu pengendalian pencemaran air. Hampir semua industri pasti menggunakan air dalam proses produksinya. Karena itu, pengelolaan air limbah menjadi sangat penting agar tidak mencemari lingkungan. Khusus bagi industri yang menggunakan air dalam jumlah besar, seperti industri air minum dalam kemasan, mereka juga harus melakukan pemeliharaan sumber air. Tentu saja, tingkat keketatan penilaian akan disesuaikan dengan seberapa besar ketergantungan industri terhadap air.

Begitu pula dengan pengendalian pencemaran udara. Hampir semua industri menghasilkan emisi gas buang. Oleh karena itu, perusahaan harus menaati peraturan yang berlaku untuk mengendalikan pencemaran udara. Selain limbah cair dan gas, limbah padat juga perlu diperhatikan. Limbah padat ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu limbah B3 dan non-B3. Keduanya harus dikelola dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Industri yang menggunakan lahan dalam skala besar, seperti pertambangan, juga harus memperhatikan pengendalian kerusakan lahan. Mereka wajib menaati peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

b. Kinerja Melampaui Kewajiban

Setelah memenuhi semua kewajiban di atas, perusahaan bisa menaikkan peringkat PROPER-nya dengan menunjukkan kinerja lingkungan yang melebihi standar. Inilah yang akan mengarahkan perusahaan menuju peringkat PROPER Hijau dan Emas.

Kriteria penilaiannya meliputi:

  1. Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment/LCA): LCA adalah metode untuk mengukur dampak lingkungan suatu produk atau jasa selama seluruh siklus hidupnya.
  2. Sistem Manajemen Lingkungan (SML): Perusahaan harus memiliki SML yang terdefinisi dengan baik, diimplementasikan secara efektif, dan terintegrasi dengan proses bisnis perusahaan.
  3. Penerapan SML: Aspek ini mencakup efisiensi energi, penurunan emisi, efisiensi air, pengelolaan limbah B3 dan non-B3, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
  4. Pemberdayaan Masyarakat (CSR): Program CSR yang berdampak positif bagi masyarakat sekitar menjadi poin penting dalam penilaian PROPER.
  5. Tanggap Kebencanaan: Perusahaan diharapkan memiliki program dan berkontribusi dalam penanggulangan bencana di wilayah operasinya.
  6. Inovasi Sosial: Perusahaan didorong untuk mengembangkan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

PROPER: Lebih dari Sekedar Penilaian

PROPER bukan hanya sekadar penilaian, tetapi juga bentuk apresiasi dan motivasi bagi perusahaan untuk terus meningkatkan kinerja lingkungannya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, perusahaan tidak hanya akan memperoleh pengakuan dari pemerintah, tetapi juga meningkatkan citra perusahaan, mengurangi risiko lingkungan, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan generasi mendatang.

 

 

 

PROPER Kunci Sukses dan Tanggung Jawab Perusahaan di Era Pembangunan Berkelanjutan

PROPER Kunci Sukses dan Tanggung Jawab Perusahaan di Era Pembangunan Berkelanjutan

Di era kesadaran lingkungan yang semakin meningkat, perusahaan dituntut untuk tidak hanya mengejar profit, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam. Salah satu instrumen penting dalam mendorong perusahaan untuk menerapkan praktik bisnis berkelanjutan adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang lebih dikenal dengan PROPER.

PROPER, yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021, merupakan evaluasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Program ini memberikan peringkat kepada perusahaan berdasarkan tingkat kepatuhan dan keunggulannya dalam mengelola dampak lingkungan dari operasinya. Peringkat PROPER Hijau dan Emas, menjadi simbol prestise dan pengakuan atas komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan.

Lalu, apa saja kepentingan perusahaan dalam meraih PROPER Hijau dan Emas? Mari kita telaah lebih dalam.

PROPER Kunci Sukses dan Tanggung Jawab Perusahaan di Era Pembangunan Berkelanjutan

Perusahaan Wajib PROPER?

Peraturan Menteri LHK No. 1 Tahun 2021 dengan tegas menyatakan bahwa setiap perusahaan memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1). Tanggung jawab ini bukan hanya sebatas kewajiban, tetapi juga menjadi kunci keberlanjutan bisnis di masa depan.

Namun, tidak semua perusahaan wajib mengikuti PROPER. Program ini difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan hidup, terutama yang berpotensi menyebabkan perubahan rona lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 2).

Lebih lanjut, Pasal 11 ayat 2 menyebutkan kriteria khusus perusahaan yang wajib memiliki Persetujuan Lingkungan dan memenuhi kriteria PROPER, antara lain:

  • Hasil produknya untuk tujuan ekspor
  • Terdaftar dalam pasar bursa
  • Menjadi perhatian masyarakat, baik dalam lingkup regional maupun nasional
  • Skala kegiatannya signifikan sehingga berdampak terhadap lingkungan hidup

Khusus untuk sektor industri dan jasa transportasi, PROPER menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar (Pasal 12 ayat 3). Mengapa sektor ini menjadi fokus? Karena industri dan transportasi merupakan penyumbang emisi dan limbah yang signifikan. Kontribusinya dalam pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat penting.

PROPER: Mendorong Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan

PROPER tidak hanya menuntut perusahaan untuk mematuhi regulasi lingkungan, tetapi juga mendorong penerapan produksi dan konsumsi berkelanjutan. Dengan meraih peringkat PROPER Hijau dan Emas, perusahaan diharapkan mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam seluruh aspek operasionalnya, mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi produk.

PROPER dan Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu aspek penting dalam PROPER adalah pemberdayaan masyarakat. Perusahaan didorong untuk berkontribusi pada peningkatan ekonomi lokal di sekitar area operasinya. Melalui program-program CSR yang terintegrasi dengan strategi keberlanjutan, perusahaan dapat membantu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan melestarikan budaya lokal.

PROPER dan Sustainable Development Goals (SDGs)

PROPER sejalan dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, perusahaan turut berkontribusi dalam mencapai berbagai tujuan SDGs. Upaya tersebut dapat membantu mengatasi perubahan iklim, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengurangi kemiskinan.

Meraih PROPER Hijau dan Emas bukan hanya tentang memenuhi kewajiban dan mendapatkan pengakuan. PROPER merupakan instrumen strategis bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing, menjaga reputasi, dan menjamin keberlanjutan bisnis di masa depan. Dengan berkomitmen pada pengelolaan lingkungan hidup yang baik, perusahaan dapat memberikan kontribusi nyata bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

 

Pemantauan Kualitas Udara Ambien: SNI Nomor 19-7119.6-2005

Pemantauan Kualitas Udara Ambien: SNI Nomor 19-7119.6-2005

Pemantauan kualitas udara ambien bertujuan untuk mengidentifikasi polusi udara yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, seperti industri, transportasi, dan domestik. Proses ini melibatkan identifikasi lokasi-lokasi strategis yang sensitif terhadap polusi udara. Prinsip utama dalam penentuan lokasi pengambilan contoh uji adalah representasi dan pertimbangan faktor-faktor yang memengaruhi kualitas udara. Lokasi pengambilan contoh harus mewakili kondisi udara area yang dipantau serta harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti arah angin dominan, keberadaan sumber emisi, dan kepadatan penduduk.

Pemantauan Kualitas Udara Ambien: SNI Nomor 19-7119.6-2005

Identifikasi Arah Angin Dominan

Langkah awal dalam penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien adalah mengidentifikasi arah angin dominan. Arah angin dominan biasanya ditunjukkan oleh garis-garis putus-putus pada peta meteorologi. Jika arah angin dominan menuju suatu arah, minimal dua lokasi di arah tersebut harus dilakukan sampling. Jika tidak ada arah angin dominan, maka semua arah (utara, selatan, barat, timur) harus dilakukan sampling

Perhitungan Radius Sampling

Setelah arah angin dominan diketahui, langkah berikutnya adalah menentukan radius sampling. Radius sampling harus cukup jauh agar tidak terpengaruh secara signifikan oleh emisi lokal. Misalkan terdapat perumahan, radius sampling harus dipilih sedemikian hingga tidak terkontaminasi oleh gas-gas dari cerobong. Jika terjadi efek dari cerobong pada jarak tertentu, maka radius sampling harus lebih luas daripada jarak tersebut.

Pertimbangan Kondisi Meteorologis dan Tata Guna Tanah

Prosedur penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien juga memperhatikan kondisi meteorologis dan tata gugusan tanah. Model-model pencemaran udara digunakan untuk menentukan dispersi udara dari cerobong terhadap kondisi udara sekitarnya. Tinggi cerobong juga berpengaruh pada jarak efektif sampling. Cerobong yang pendek (3–4 meter) akan memiliki jarak efektif sampling yang lebih dekat, sedangkan cerobong yang tinggi akan memiliki jarak yang lebih jauh.

Pertimbangan Lokasi Penduduk Padat

Jika terdapat penduduk padat di sekitar industri, maka lokasi sampling harus dipilih di daerah yang agak jauh dari industri tersebut. Hal ini untuk menghindari kontaminasi udara akibat emisi industri. Meskipun demikian, jika penduduk padat, maka masih tetap harus mencari lokasi yang optimal untuk sampling.

Pertimbangan Alam Sekitar

Selain lokasi penduduk, perlu juga mempertimbangkan alam sekitar. Pohon-pohon dapat menghalangi alat pengukur angin (anemometer) sehingga hasil pengukuran tidak akurat. Oleh karena itu, usaha-usaha dilakukan untuk memastikan bahwa pohon tidak mengganggu alat pengukur.

Penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien harus dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan berbagai faktor yang telah dijelaskan. Dengan mengikuti panduan SNI 19-7119.6-2005, diharapkan hasil pemantauan kualitas udara ambien dapat merepresentasikan kondisi udara sebenarnya dan memberikan informasi yang akurat untuk pengambilan keputusan terkait pengendalian pencemaran udara.

Opasitas Asap Cerobong: Antara Pengamatan Visual dan Pengukuran Akurat

Opasitas Asap Cerobong: Antara Pengamatan Visual dan Pengukuran Akurat

Asap dari cerobong industri, seperti pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) atau pabrik semen, menjadi perhatian penting dalam upaya menjaga kualitas udara. Opasitas, atau tingkat kepekatan asap cerobong, merupakan salah satu indikator utama yang menunjukkan kadar polutan yang dilepaskan ke atmosfer. Namun, mampukah mata manusia menilai opasitas asap cerobong secara akurat?

Keterbatasan Pengamatan Visual

Meskipun kita dapat dengan mudah melihat asap yang mengepul dari cerobong, menentukan tingkat opasitas asap secara presisi hanya dengan penglihatan ternyata bukan perkara mudah. Ada beberapa faktor yang membatasi akurasi pengamatan visual.

Pertama, persepsi visual bersifat subjektif. Setiap individu memiliki kepekaan yang berbeda dalam menerima dan menginterpretasi rangsangan visual. Faktor usia, kondisi kesehatan mata, bahkan latar belakang pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi penilaiannya terhadap tingkat kepekatan asap. Akibatnya, dua orang yang mengamati cerobong yang sama dapat memberikan kesimpulan yang berbeda tentang opasitas asap.

Kedua, kondisi lingkungan juga turut berperan. Intensitas cahaya matahari, warna langit, dan objek-objek di sekitar cerobong dapat menciptakan ilusi optik yang menyesatkan pengamatan. Asap yang tampak pekat di bawah sinar matahari terik bisa jadi terlihat lebih tipis saat cuaca mendung.

Ketiga, mata manusia memiliki keterbatasan dalam membedakan gradasi warna secara detail. Skala Ringelmann, yang diadopsi dalam SNI 19-7117.11-2005, memang menyediakan panduan visual untuk mengestimasi opasitas. Namun, skala ini hanya menyajikan lima tingkat gradasi opasitas (20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%), sementara kenyataannya opasitas asap dapat bervariasi secara kontinu.

Urgensi Pengukuran Akurat Opasitas Asap dengan Instrumen

Mengingat keterbatasan pengamatan visual dalam menentukan opasitas asap cerobong, penggunaan instrumen pengukur opasitas menjadi sangat penting. Opacity meter, misalnya, bekerja dengan memancarkan sinar ke dalam cerobong dan mengukur jumlah cahaya yang diteruskan atau dipantulkan kembali. Data yang dihasilkan oleh instrumen ini lebih objektif, akurat, dan dapat diandalkan dibandingkan penilaian subjektif mata manusia.

Pengukuran opasitas yang akurat memiliki implikasi penting dalam berbagai aspek. Pertama, data opasitas digunakan oleh industri untuk memastikan kepatuhan terhadap standar emisi yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020 untuk PLTD dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 untuk industri secara umum. Pelanggaran terhadap standar emisi dapat berujung pada sanksi administratif, bahkan penutupan operasional.

Data opasitas yang akurat memungkinkan evaluasi yang lebih baik terhadap efektivitas alat pengendali pencemaran udara yang dipasang di industri. Dengan mengetahui tingkat opasitas asap secara presisi, pihak industri dapat mengidentifikasi potensi masalah pada sistem pengendalian pencemaran dan melakukan perbaikan yang diperlukan.

Pengukuran opasitas yang akurat berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Tingkat opasitas asap berkorelasi dengan konsentrasi partikulat polutan di udara, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari iritasi saluran pernapasan hingga penyakit kardiovaskular.

Meskipun pengamatan visual memberikan gambaran awal tentang kondisi asap yang dikeluarkan oleh cerobong industri, keterbatasannya menuntut penggunaan instrumen pengukur opasitas yang lebih akurat dan objektif. Data opasitas yang valid merupakan fondasi bagi upaya pengendalian pencemaran udara, penegakan hukum lingkungan, dan perlindungan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, pemantauan opasitas asap cerobong secara terukur dan berkelanjutan menjadi keharusan bagi setiap industri yang bertanggung jawab.

Pemantauan Emisi: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Pemantauan Emisi: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Pentingnya pemantauan emisi dalam industri menuntut pemilihan metode yang tepat untuk menghasilkan data yang akurat dan dapat diandalkan. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan dua metode utama pemantauan emisi secara manual, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik.

Metode Manual: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Dalam melakukan pemantauan emisi secara manual, terdapat dua pendekatan utama yang dapat diambil, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik. Penggunaan metode pemantauan emisi sampling isokinetik dan non-isokinetik sangat tergantung pada jenis emisi yang sedang diamati. Sampling isokinetik untuk emisi partikulat sedangkan sampling non-isokinetik untuk emisi gas.

  1. Sampling Isokinetik

Tujuannya untuk mendapatkan sampel yang representatif. Sampling Isokinetik yaitu sampling sedemikian rupa sehingga kecepatan dan arah gas masuk ke dalam nosel alat sampling adalah sama dengan kecepatan dan arah gas dalam cerobong (pada titik sampling yang sama). Kriteria kecepatan / tingkat sampel untuk metode isokinetik adalah 90 – 110%

Sebagai contoh, pada kasus emisi partikulat, sampling isokinetik menjadi pilihan yang umum digunakan. Sampling isokinetik bertujuan untuk mengambil sampel yang representatif dengan mengantisipasi akumulasi partikulat di sisi cerobong. Hal ini penting untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mencerminkan kondisi sebenarnya dari emisi partikulat. Pengukuran kecepatan gas dilakukan dengan menggunakan alat Pitot Manometer, yang menjadi instrumen kunci dalam metode isokinetik.

Tingkat toleransi dalam metode isokinetik berada dalam rentang 90-110%, yang dianggap sebagai tingkat kecepatan yang sesuai. Proses ini bergantung pada ukuran cerobong dan jumlah sampel yang diambil. Dengan demikian, metode isokinetik memberikan keakuratan yang tinggi dalam mengukur emisi partikulat, yang seringkali menjadi fokus utama dalam pemantauan emisi industri.

  1. Sampling Non-Isokinetik

Sampling non-isokinetik digunakan untuk menangkap gas polutan dari cerobong seperti halides, Ammonia, Hidrogen sulfide. Sifat gas yang homogen, pengambilan sampling tidak mengikuti pengambilan sampling traverse point pada metoda isokinetik.

Dalam konteks pengembangan teknik sampling non-isokinetik, metode USEPA menjadi acuan utama. Beberapa metode USEPA yang relevan termasuk method 4, 6, 11, 18, 26, VOST, Methods 0030, dan 0031. Penggunaan metode-metode ini memberikan kerangka kerja yang terstandarisasi dan diakui secara luas dalam industri pemantauan emisi.

Penggunaan absorben yang spesifik menjadi kunci dalam teknik non-isokinetik. Absorben dipilih berdasarkan sifat gas yang akan ditangkap. Penggunaan absorben yang tepat memastikan keefektifan dalam menangkap gas polutan yang spesifik, sehingga hasil sampling menjadi akurat dan representatif.

Perbedaan antara sampling isokinetik dan non-isokinetik terletak pada pendekatan pengambilan sampel. Metoda isokinetik mengikuti pengambilan sampel traverse point, sementara metoda non-isokinetik lebih berfokus pada karakteristik homogen gas polutan.

Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Strategi Monitoring Emisi pada Industri: Antara Metode Manual dan Otomatis

Monitoring emisi dapat dilakukan dengan dua metode utama yaitu manual dan otomatis. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga penting untuk memahami strategi monitoring emisi yang efektif dan efisien. Bagaimana sebenarnya industri memantau emisi yang mereka hasilkan dengan kedua metode tersebut?

Metode Manual

Metode manual dalam pemantauan emisi melibatkan penggunaan alat-alat yang lebih sederhana dan fleksibel. Salah satu contoh metode manual adalah sampling isokinetik, yang digunakan untuk mengukur konsentrasi partikulat dalam cerobong. Alat-alat yang digunakan dalam metode manual harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dan dilakukan oleh laboratorium yang sudah memiliki identitas registrasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam hal ini, pelaku harus memiliki sertifikat yang menunjukkan kualifikasi dan keahlian dalam melakukan pengukuran emisi. Begitu pula di laboratorium, orang yang melakukan pemeriksaan harus bersertifikasi. Proses monitoring emisi ini harus dilakukan dengan sangat ketat dan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan.

SNI dalam Pemantauan Emisi

SNI menjadi landasan utama dalam setiap prosedur monitoring. Untuk sumber tidak bergerak, terdapat 31 SNI yang berkaitan dengan pemantauan emisi. Sedangkan untuk sumber bergerak, jumlahnya lebih sedikit, yaitu 4 SNI. Begitu juga untuk udara ambien, terdapat 27 SNI yang memberikan pedoman terkait pemantauan kualitas udara.

Peraturan dan Pedoman Teknis dalam Pengelolaan Emisi

Regulasi terkait pengelolaan emisi di industri mengatur berbagai aspek, mulai dari penanggung jawab di industri hingga pelaksanaan pemantauan. Setiap entitas yang terlibat dalam manajemen emisi, termasuk pelaporan dan perencanaan, harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mengacu pada SNI yang berlaku.

Pentingnya SNI juga tercermin dalam pengulangan standar yang diterapkan pada sumber tidak bergerak. Terdapat pula SNI yang mengacu pada metode Amerika (EPA). Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dapat ditemukan dalam Kepmen LH No 205/1996, yang mencakup pengaturan cerobong, lubang sampling, sarana pendukung, dan unit pengendalian.

Metode Manual vs. Otomatis: Penggunaan CEMS

Pemantauan emisi dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Cara otomatis melibatkan penggunaan Continuous Emission Monitoring Systems (CEMS). Sepuluh industri diwajibkan menggunakan CEMS, yang dipasang secara permanen pada cerobong. CEMS memonitor berbagai gas dan mengirimkan hasilnya ke kantor melalui data logger.

Industri yang diwajibkan menggunakan CEMS melibatkan sektor peleburan besi dan baja, kertas, rayon, carbon black, minyak dan gas bumi, pertambangan, pengolahan sampah secara termal, semen, pembangkit listrik tenaga termal, dan pupuk dan ammonium nitrat. Meskipun CEMS memiliki tingkat akurasi tinggi, penggunaannya memerlukan investasi yang cukup besar, dengan harga di atas 1 miliar.

Pengembangan CEMS Sensor

Saat ini, CEMS masih mengandalkan Analyzer dan belum menggunakan Sensor. Namun, pengembangan CEMS Sensor sedang dalam tahap pengembangan oleh pihak regulator. Meskipun demikian, implementasi Sensor dalam CEMS masih memerlukan perhatian lebih lanjut dan belum menjadi standar.

Metode Manual: Sampling Isokinetik dan Non-Isokinetik

Dalam metode manual, pemantauan emisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sampling isokinetik dan non-isokinetik. Isokinetik menjadi pilihan ketika pemantauan melibatkan emisi partikulat, isokinetik bertujuan untuk mengambil sampel yang representatif dengan mengantisipasi akumulasi partikulat di sisi cerobong.

Isokinetik melibatkan penggunaan alat Pitot Manometer untuk mengukur kecepatan gas. Tingkat toleransi isokinetik adalah 90-110%, yang dianggap sebagai tingkat kecepatan yang sesuai. Proses ini tergantung pada ukuran cerobong dan jumlah sampel yang diambil.

Dalam melakukan monitoring emisi di industri, penggunaan metode manual dan otomatis memegang peran penting. Metode manual melibatkan pemahaman mendalam terhadap berbagai SNI yang berlaku dan penerapan prosedur yang ketat. Di sisi lain, penggunaan CEMS dalam metode otomatis memberikan keakuratan tinggi, namun dengan biaya yang signifikan.

Perkembangan CEMS Sensor menjadi hal yang menarik untuk dipantau, namun saat ini belum menjadi standar. Dengan pengaturan yang ketat, baik manual maupun otomatis dapat memberikan data yang akurat, mendukung upaya pengelolaan emisi yang berkelanjutan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?