Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Mengupas Berbagai Platform dalam Perdagangan Karbon

Jika skema perdagangan karbon sudah dibahas pada artikel sebelumnya, dalam artikel ini akan dibahas mengenai berbagai platform dalam perdagangan karbon. Verra merupakan salah satu platform terkemuka dalam perdagangan karbon. Kredit karbon yang terstandardisasi oleh Verra disebut dengan VCU. Skema perdagangan yang ada di platform ini hampir seluruhnya bersistem B2B atau bisnis to bisnis, yang sepenuhnya sukarela. Dimana satu bisnis akan melakukan project pengurangan emisi sedangkan bisnis lainnya akan membeli kredit yang dihasilkan untuk melakukan offset emisi yang mereka hasilkan. Project REED dan AFOLU merupakan project yang memiliki jumlah kredit karbon terbesar. Harganya berkisar antara 0,2 USD hingga 112 USD per VCU. Banyak project VCU yang memiliki lebih dari satu co-benefit seperti perlindungan habitat dan people empowerment yang akan meningkatkan harga kredit karbon. 

Selanjutnya ada platform lain yaitu Gold Standard, yang merupakan karbon market yang dibangun oleh WWF. Platform inimemiliki banyak project yang lebih cenderung ke Teknologi Based Solution (TBS) dibandingkan dengan Natural Based Solution (NBS). Gold Standard juga memfasilitasi transisi project dari Clean Development Mechanism (CDM) ke Voluntary Carbon Market. Unit karbon pada platform Gold Standard disebut dengan Certified Emission Reduction atau CERs untuk project yang bersifat mandatory, sedangkan disebut dengan Verified Emission Reduction untuk project yang bersifat voluntery. Gold Standard juga mendorong project untuk memiliki lebih dari satu co-benefit yang sesuai dengan SDGs yang ada. Dalam platform Gold Standard, setiap project harus menunjukkan bahwa dia mengakomodir SDGs goals nomor berapa dan harus minimal memiliki 4 SDGs yang diselesaikan. Mengenai harga kredit karbon, bergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Selanjutnya ada platform Plan Vivo. Platform Plan Vivo merupakan platform sertifikasi kredit karbon yang lebih menekankan pada social base and small scale carbon project. Pendekatannya adalah secara sosial kemudian mayoritas project-nya berada pada negara berkembang yang berlokasi di people atau cultural owned areas. Dalam Plan Vivo, setiap project juga mewajibkan untuk mengikutsertakan indigenous people dan mewajibkan 60% dari keuntungan atau benefit dari penjualan karbon harus disalurkan kepada indigenous people yang berpartisipasi. Unit karbon dalam platform Plan Vivo disebut dengan Plan Vivo Certificates atau PVCs. 

Beberapa contoh Credit Project yang ada di Indonesia diantaranya yaitu di sektor energi ada Medco Energi dan Methane Capture di Methane Recovery in Wastewater. Salah satu yang cukup terkenal di dunia yaitu Katingan Project, merupakan salah satu yang terbesar dan bisa dibilang harga kredit karbonnya cukup tinggi.

Beberapa contoh project pada platform Gold Standard yaitu ada with One Seed Community Forest Programme dan Sidrap Wind Farm Project. Gold Standard lebih cenderung ke Teknologi Based Solution meskipun tidak menutup kemungkinan adanya project-project yang di sektor AFOLU ataupun RED. Beberapa contoh project di platform Plan Vivo ada bujang raba, durian rambun, dan gula-gula.

Dengan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan karbon dan keberlanjutan, konsultan gas rumah kaca dapat membantu perusahaan dalam merencanakan dan mengimplementasikan inisiatif pengurangan emisi GRK serta pemanfaatan platform yang berfokus untuk manajemen dan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 2): Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting

Jika sebelumnya sudah dibahas mengenai dua skema perdagangan karbon yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS), selanjutnya dalam artikel ini akan dibahas mengenai dua skema lainnya yaitu Joint Implementation (JI) dan Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Telah disebutkan pada artikel sebelumnya bahwa platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, serta memberikan kejelasan mengenai kualitas dan cakupan dari proyek-proyek penyerapan karbon.

Skema Joint Implementation (JI) merupakan skema yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari negara maju melalui project kerjasama di negara-negara berkembang atau biasa disebut sebagai host country. Apabila project berhasil maka akan mendapatkan sertifikat Emission Reduction Units (ERU) yang dapat diklaim oleh kedua negara sebagai klaim pengurangan emisi. Lain halnya penerapannya di Indonesia, kebanyakan mayoritas dari project Joint Implementation (JI) yang dilakukan adalah kerjasama dengan pemerintah Jepang. Pada tahun 2022, kurang lebih ada 48 project dan berfokus pada sektor energi dan sektor limbah, baik itu introduksi sumber energi terbarukan ataupun introduksi teknologi pengolahan limbah yang mampu mengurangi emisi yang dihasilkan baik metan ataupun karbondioksida.

Selanjutnya adalah skema Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Carbon Crediting adalah izin atau sertifikat yang dapat diperdagangkan, dapat memberikan hak kepada pemegang kredit untuk beremisi 1 ton karbon dioksida atau setara dengan gas rumah kaca lainnya. Umumnya sertifikat ini dibeli oleh emiter dari para pemilik project penyerapan karbon. Sertifikat karbon diperoleh pemilik project yang kemudian disertifikasi oleh pihak ketiga atau lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi karbon kredit. Ketika kreditnya sudah verified, maka dapat dijual dengan mekanisme pasar bebas, namun ditentukan pada kualitas dan cakupan yang menjadi tingkat “keseksian” dari project karbon tersebut. Tingkat “keseksian” inilah yang secara tidak langsung menentukan harga dari kredit project tersebut. Dalam skema Carbon Offsetting, ada istilah Voluntary Carbon Market yang mana ada beberapa platform terkemuka seperti Verra, Gold Standard, American Carbon Registry, Plan Vivo, atau Climate Action Reserve. Dari sekian platform yang ada, Verra merupakan platform nomor 1 yang memiliki jumlah project yang paling banyak diikuti. Selain dari lima platform yang telah disebutkan, sebenarnya masih banyak lagi platform yang lain, seperti ada Corsia Aviation dan CCB, namun biasanya memang disatukan dalam satu verifikasi sehingga nilai atau harga dari project tersebut akan meningkat. Sebagai informasi tambahan, rata-rata harga dari karbon kredit, sebagai contoh yaitu project dari Reduce Emition and Deforestation (RED), yang mana kurang lebih jumlah project paling banyak dipegang oleh project ini. Harga karbon kredit pada project ini di tahun 2021 berkisar antara 3 dolar.

Voluntary Carbon Market merupakan salah satu pasar karbon yang paling besar dibandingkan dengan CDM atau JI, ataupun dibandingkan ketiga pasar lainnya. Setiap tahunnya, karbon kredit di pasar ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun berakibat pada menurunnya harga rata-rata dari Natural Based Solution (NBS) yang dilakukan. Namun hal itu bukan berarti bahwa harga dari karbon kredit yang berasal dari Natural Based Solution (NBS) sangat rendah. Jumlahnya yang tinggi memengaruhi nilai rata-ratanya, sedangkan beberapa project memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata 1 dolar ini. Di sisi lain, banyak project seperti di Afrika atau di Amerika Selatan yang sulit untuk menembus angka 2 dolar, karena kembali lagi dari kualitas serta dari cakupan project yang kurang menyeluruh ataupun tidak memasukkan aspek-aspek penting yang seharusnya dimasukkan ke dalam project itu sendiri.

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Skema Perdagangan Karbon (Bagian 1): CDM dan ETS

Dalam hal perdagangan karbon, terdapat suatu rancangan di dalamnya yang selanjutnya kita sebut dengan skema perdagangan karbon. Skema perdagangan karbon hadir sebagai komitmen Global yang dimulai dari Kyoto Protocol. Dalam Kyoto Protocol dihasilkan produk berupa rancangan atau skema yang disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM) serta konferensi-konferensi lainnya yang menghasilkan nilai kontribusi pengurangan emisi nasional yang dikenal dengan istilah National Determined Contribution (NDC). mulai dari perjalanan dari Kyoto Protocol hingga konferensi-konferensi berikutnya, hanya ada sedikit perubahan dari awal CDM terbentuk yang mana tidak mengubah nilai ­fogs-nya.

Dalam perdagangan karbon, karbon adalah objek yang bersifat intensible, maksudnya adalah tidak dapat dipegang dan ia bukan merupakan karbon aktif. Perdagangan karbon itu adalah suatu hal yang sedang terjadi atau happening sekarang. Beberapa orang berpikir bahwa perdagangan karbon adalah jual beli arang atau jual beli karbon aktif, namun bukan seperti itu. Karbon dalam perdagangan karbon merupakan suatu benda yang dapat dihitung dan ditetapkan dalam satuan CO2 atau ton CO2 equivalen. Karbon yang dibahas ini dapat berupa jasa atau kuota emisi, serta bersifat pengurangan atau penambahan. Hal ini bisa cukup rumit atau tricky, karena di satu sisi bisa bersifat mengurangi atau di sisi lain bisa bersifat menambah.

Selanjutnya, ada beberapa skema perdagangan karbon yang umum dikenal. Pertama, Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan produk dari Kyoto Protocol. Kedua, Emission Trading System (ETS). Ketiga, Joint Implementation (JI). Keempat, ada Carbon Crediting atau Carbon Offsetting. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua skema, yaitu Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading System (ETS).

Pertama, kita kupas mengenai Clean Development Mechanism (CDM). Clean Development Mechanism (CDM) merupakan suatu mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam framework kerjasama antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Objek utama dari skema perdagangan ini adalah sertifikasi karbon yang ditangkap oleh negara berkembang dan digunakan oleh emiter-emiter di negara-negara maju. Ketika negara berkembang melakukan suatu project untuk mengurangi emisi atau “menangkap emisi”, unit yang tersertifikasi tersebut dijual ke negara maju yang akan diklaim sebagai pengurangan emisi di negara-negara maju. Berdasarkan UNFCCC, project CDM di Indonesia kurang lebih ada 156 project, yang telah terverifikasi sebanyak 49 project dengan total volume karbon sebanyak 34 juta ton CO2. Jumlah tersebut dikenai harga berkisar antara 1 USD sampai dengan 7 USD per ton CO2, tergantung kepada jenis project ataupun teknologi yang digunakan dalam project tersebut. 

Kedua, skema yang kita kenal sebagai Emission Trading System (ETS). Emission Trading System (ETS) merupakan skema transfer emisi antar anggota sistem yang umumnya terkoneksi dalam satu grip yang sama, seperti di EU (Europe) ETS, China ETS, NA ETS, dan sebagainya. Mayoritas Emission Trading System (ETS) di beberapa grip ini dilakukan karena ada kewajiban atau sifatnya mandatory bagi setiap anggota sistem tersebut untuk mengurangi atau membatasi emisi yang dihasilkan. Emission Trading System (ETS) biasanya ada yang disebut dengan alokasi atau allowance untuk emisi GRK dalam satu periode. Misalnya dalam satu tahun setiap orang atau setiap anggota dalam ETS A memiliki allowance sebanyak 1000 ton CO2. Ketika allowance itu ada yang tersisa di salah satu anggotaataupun ketika ada anggota yang menghasilkan emisi melebihi dari allowance yang diperbolehkan, maka pada moment inilah terjadi perdagangan karbon atau perdagangan emisi antar anggota sistem ETS itu sendiri. Di Indonesia, ETS sudah mulai dilaksanakan pada Februari 2023 untuk seluruh PLTU batubara dimana sistem transaksinya diatur oleh Bursa Efek Indonesia dalam Apple Gatrix application, untuk semua update seperti Real Time Emission Report kemudian jumlah batasan allowancenya untuk masing-masing PLTU serta harganya berapa dan bagaimana trading yang terjadi.

Dalam konteks skema perdagangan karbon, platform gas rumah kaca dapat menjadi sarana efektif untuk memfasilitasi pertukaran kuota emisi, menyediakan informasi transparan, dan mendorong kolaborasi antar pihak yang terlibat dalam mitigasi perubahan iklim. Jasa konsultan gas rumah kaca berperan penting untuk memberikan pandangan ahli terkait implementasi skema perdagangan karbon, membantu perusahaan dan pemerintah dalam pemilihan strategi yang tepat, serta memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan standar internasional.

Asal Mula Perdagangan Karbon

Asal Mula Perdagangan Karbon

Ada cerita menarik mengenai munculnya perdagangan karbon yang bisa menjadi wawasan baru bagi kita semua. Inisiasi perdagangan karbon diawali dengan adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkelanjutan. Efek rumah kaca yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi ini akan mempercepat laju pencairan es di kedua kutub sehingga berimbas pada peningkatan volume air di lautan yang pastinya menjadi ancaman bagi negara-negara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut, seperti Tuvalu dan Maldive. Negara-negara tersebut diprediksi akan kehilangan sebagian besar hingga 100% wilayahnya pada tahun 2050.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) juga menyebabkan disrupsi kepada kondisi alami musim secara global. Disrupsi yang dimaksud adalah yang pertama berupa bergesernya waktu seperti yang terjadi di musim hujan dan musim kemarau, yang saat ini kita rasakan. Kedua, terjadi perubahan durasi musim, maksudnya adalah musim panas yang lebih panjang, musim hujan yang lebih panjang atau lebih pendek. Ketiga, terjadi perubahan intensitas musim, seperti yang terjadi di beberapa negara yang mengalami musim panas yang berubah menjadi heatwave, di negara-negara yang mengalami musim dingin terjadinya freezing winter yang dinginnya melebihi batas normal. Disrupsi siklus musim alami ini juga akan berpengaruh pada aspek kehidupan manusia, seperti terganggunya produksi pangan, gangguan kesehatan, dan hilangnya spesies kunci yang berperan bagi kehidupan manusia, seperti berkurangnya jumlah serangga atau misalnya lebah sebagai penyerbuk alami di banyak tanaman pangan utama yang penting bagi manusia. Ditambah lagi, habitat alami yang berperan bagi kehidupan manusia juga terancam terganggu, yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi pusat nursery bagi ikan-ikan di laut. Disrupsi musim ini akan berujung pada kerugian ekonomi yang sudah kita rasakan saat ini serta generasi anak cucu kita akan merasakan penurunan kualitas hidup nantinya.

Data dari IPCC tahun 2021 menyampaikan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan suhu rata-rata pada tahun 1900. Jika  dilihat pada siklus alaminya, suhu rata-rata akan mengalami penurunan pada suatu titik. Ketika sudah naik dan peningkatannya melebihi peningkatan sebelumnya, maka penurunan yang terjadi tidak akan mampu untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. IPCC juga menyampaikan bahwa kita yang hidup saat ini akan merasakan sebagian kecil dari efek global warming, sedangkan sebagian besar lainnya diprediksi baru akan dirasakan oleh generasi anak dan cucu kita, khususnya bagi yang baru lahir pada tahun 2020 apabila tidak ada kemauan dan aksi nyata yang kita lakukan untuk mengurangi emisi yang telag kita hasilkan. Jika kita membagi jumlah emisi per negara dan perbenua, maka emisi GRK terbesar dihasilkan oleh China dan Amerika yang kurang lebih menghasilkan 40% dari total emisi global. Disusul dengan India, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa, sedangkan Afrika yang notabenya memiliki luas benua cukup besar hanya berkontribusi sebanyak 3% dari emisi global. Berbeda hasilnya jika kita membagi emisi tersebut dengan jumlah penduduk menjadi emisi GRK perkapita, jumlah emisi Cina akan menurun drastis karena jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa sedangkan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit namun emisinya cenderung tinggi seperti Qatar, Singapura, Brunei akan menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Cina.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang menjadi alasan atas terinisiasinya perdagangan karbon di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

 

 

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan, perlunya suatu kajian mengenai dampak lingkungan muncul. Salah satu kajian tersebut adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL merupakan suatu kajian mengenai dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek terhadap lingkungan, dan bagaimana cara mengurangi dampak tersebut. Kali ini Lensa Lingkungan akan mengulas Sejarah AMDAL dan Implementasinya di Indonesia.

Awal Mula

Konsep AMDAL pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1969, setelah terjadinya bencana lingkungan besar akibat kecelakaan kapal minyak di Teluk Santa Barbara. Bencana ini memicu kesadaran akan perlunya melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut. Lalu, munculah Undang-Undang Lingkungan Hidup di Amerika Serikat yang mewajibkan dilakukannya kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Sejarah AMDAL di Indonesia

Pada tahun 1982, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini merupakan landasan hukum pertama mengenai perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Di dalamnya termasuk kewajiban untuk melakukan kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara lebih rinci mengenai AMDAL. Diaturlah bahwa setiap kegiatan yang memiliki potensi dampak signifikan terhadap lingkungan wajib untuk melakukan kajian AMDAL. Selain itu, terdapat pula kewajiban untuk melakukan konsultasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek tersebut.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 2009, di mana Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menguatkan kembali peran Amdal sebagai instrumen penting dalam pengambilan keputusan pembangunan. Disempurnakannya peraturan-peraturan terkait Amdal tersebut semakin menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup dari dampak negatif pembangunan.

Hingga saat ini berlaku UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan berbagai UU, termasuk UU No.32 Tahun 2009. Dan berlaku juga PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tujuan dan Implementasi

AMDAL diciptakan dengan tujuan dapat mencegah, mengurangi, dan mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan pembangunan, baik itu dari sektor industri maupun infrastruktur.

Pada prakteknya, implementasi AMDAL di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Mulai dari minimnya kesadaran akan pentingnya AMDAL di kalangan pengembang proyek, hingga minimnya pengawasan dari pihak berwenang terhadap pelaksanaan AMDAL. Banyak proyek pembangunan yang dijalankan tanpa adanya kajian AMDAL yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan.

Namun dampak positif dari implementasi AMDAL di Indonesia juga telah terlihat. Banyak proyek pembangunan yang akhirnya dihentikan atau dimodifikasi setelah ditemukan dampak yang berpotensi merusak lingkungan.


Sejarah AMDAL bermula dari kesadaran akan perlunya perlindungan lingkungan hidup, dan secara bertahap mulai diimplementasikan di berbagai negara termasuk Indonesia. Meskipun masih menghadapi tantangan, implementasi AMDAL di Indonesia telah memberikan dampak positif dalam melindungi lingkungan hidup. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari semua pihak untuk menerapkan AMDAL secara konsisten guna menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi fugitive merupakan emisi yang berasal dari sumber-sumber yang sulit untuk diidentifikasi atau diukur, seperti kebocoran gas, debu, uap, atau partikel dari berbagai jenis industri dan/atau proses manufaktur. Secara teknis emisi fugitif adalah emisi yang tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan.

Emisi ini dapat berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan manusia karena seringkali sulit untuk dikendalikan dan seringkali melebihi batas aman yang ditetapkan.

Dari segi kesehatan manusia, emisi fugitif dapat menyebabkan gangguan pernafasan, iritasi kulit dan mata, serta masalah kesehatan lainnya seperti kanker, gangguan saraf, dan masalah kesehatan lainnya. Selain itu, terpaparnya gas beracun atau bahan kimia berbahaya dapat menyebabkan keracunan atau kematian akibat paparan yang tinggi.

Selain dampak langsung bagi kesehatan manusia, emisi fugitif juga memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan. Gas-gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global, yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya alam. Selain itu, emisi fugitif dapat menyebabkan eutrofikasi air, asidifikasi tanah.

Contoh industri yang memiliki emisi fugitif adalah industri pertambangan dan pengolahan mineral, industri kimia, petrokimia, serta industri pembangkit listrik. Pada industri ini, emisi fugitif umumnya terjadi akibat kebocoran pada peralatan pengolahan maupun proses produksi. Contohnya, pada industri pertambangan, kebocoran gas metana seringkali terjadi akibat proses penambangan batubara atau penggalian tambang.

Untuk mengatasi masalah emisi fugitif, langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih ketat perlu diterapkan. Pemerintah perlu melakukan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap industri-industri yang potensial menghasilkan emisi fugitif.

Lensa Lingkungan bisa membantu perusahaan dalam melakukan pengelolaan emisi fugitif. Kontak kami untuk info lebih lanjut.

Pengertian Baku Mutu Emisi (BME) Sumber Tidak Bergerak

Pengertian Baku Mutu Emisi (BME) Sumber Tidak Bergerak

Baku mutu emisi (BME) sumber tidak bergerak merupakan standar yang ditetapkan untuk mengatur batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan dan/atau yang dikeluarkan oleh sumber-sumber seperti pabrik, kilang, dan instalasi lainnya yang tidak bergerak. Pentingnya baku mutu emisi ini tidak dapat dipandang remeh, karena emisi polutan dapat berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia.

Pemenuhan Baku Mutu Emisi (BME)

Pertama-tama, pentingnya pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah untuk melindungi kualitas udara. Emisi polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan partikulat dapat menyebabkan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dengan adanya baku mutu emisi, pabrik dan instalasi lainnya diharuskan untuk membatasi jumlah emisi polutan yang mereka hasilkan, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap kualitas udara.\

BME Sesuai Dampak Emisinya

Baku mutu emisi (BME) sumber tidak bergerak ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan, sesuai dampak emisinya.

Dampak emisi rendah:

  • Menggunakan baku mutu yang telah ditetapkan oleh Menteri
  • Dalam hal baku mutu emisi belum ditetapkan oleh Menteri, Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan kajian dan persetujuan teknis.

Dampak emisi tinggi :

  • Wajib dilengkapi dengan kajian dan persetujuan teknis
  • Pelaku usaha dalam kawasan yang wajib RKL-RPL rinci, pengelola kawasan dalam memeriksa RKL-RPL rinci mempersyaratkan Persetujuan Teknis pemenuhan BME pada RKL-RPL rinci

Selain itu, pemenuhan baku mutu emisi juga berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Emisi polutan dapat mencemari tanah, air, dan ekosistem lainnya, sehingga dapat berdampak buruk pada kehidupan satwa liar dan tumbuhan. Dengan adanya baku mutu emisi yang ketat, diharapkan emisi polutan dapat dikurangi sehingga dapat menjaga keseimbangan alam dan keberlanjutan lingkungan

Bahaya Paparan Polutan untuk Kesehatan Manusia

Dari segi kesehatan manusia, pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak juga memiliki peran yang sangat penting. Paparan polutan udara dapat menyebabkan gangguan pernapasan, iritasi mata, dan bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit serius seperti kanker dan gangguan kardiovaskular. Dengan adanya baku mutu emisi yang ketat, diharapkan polusi udara dapat dikurangi sehingga dapat menjaga kesehatan masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak, pabrik dan instalasi lainnya dapat menggunakan teknologi pengendali emisi. Hal tersebut untuk memastikan bahwa tingkat emisi polutan tetap berada dalam batas yang ditentukan. Dapat dilakukan dengan memasang peralatan pengendali emisi seperti filter udara, scrubber gas, dan teknologi lainnya untuk mengurangi emisi polutan.

Pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak bukanlah hal yang mudah, namun sangat penting untuk dilakukan guna menjaga lingkungan, kesehatan manusia, dan keberlanjutan ekosistem. Dalam upaya memenuhi baku mutu emisi sumber tidak bergerak, peran pemerintah juga sangat penting dalam mengawasi dan menegakkan aturan yang telah ditetapkan. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya pemenuhan baku mutu emisi ini, diharapkan pabrik dan instalasi lainnya dapat bekerja sama dalam mengurangi emisi polutan demi kebaikan bersama.

Apakah Anda membutuhkan informasi mengenai baku mutu emisi perusahaan dan akan menyusun persetujuan teknis emisi? Berpengalaman di bidang emisi dan udara ambien, kami bisa membantu menyusun pertek emisi dengan cepat. Silakan kunjungi laman ini untuk detailnya.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami

Chat Kami
Butuh info lebih? Kontak kami
Halo 👋
kami adalah konsultan lingkungan, apakah ada yang bisa dibantu?